Akhir-akhir ini kalimat keterlambatan didalam berbagai forum diskusi tentang pengadaan barang dan jasa begitu mendominasi. Banyak PPK dan/atau penyedia yang begitu intens dengan kalimat ini baik dalam diskusi maupun di dalam pelaksanaan pekerjaan. Semua bagian sepertinya “kebut-kebutan” hanya untuk tidak ketinggalan atau merasakan hawa keterlambatan.
Menyikapi pelaksanaan paket pekerjaan pada waktu menjelang akhir tahun cendrung menjadi satu dilema buat seorang PPK. Tak semua pekerjaan dapat diselesaikan tepat waktu sesuai jadwal sebagaimana tertuang di dalam kontrak. Keterlambatan didalam pelaksanaan dapat disebabkan banyak faktor. Bisa jadi faktor kelalaian penyedia, bisa juga disebabkan oleh kesalahan pemilik pekerjaan. Bisa juga dari faktor-faktor lain yang berkaitan dengan lingkup pekerjaan.
Walaupun secara umum pelaksanaan pekerjaan sebagaimana amanat Perpres 54 tahun 2010 sudah direncanakan namun semuanya tidak ada yang sempurna bahkan tidak ada suatu rencana yang mampu menjangkau perkembangan yang akan datang. Itu sebabnya muncul istilah unforseable condition yakni kondisi yang tak terpikirkan (force majure) dan unforeseen condition yakni kondisi yang secara keseluruhan tidak dapat direncanakan/diperhitungkan sebelumnya.
Pada kesempatan ini (mudah-mudahan tidak terlambat) kita tidak akan membicarakan mengapa dan kenapa keterlambatan bisa terjadi namun kita akan membahas apa yang harus dilakukan seorang PPK terhadap hasil pekerjaan sesuai dengan prinsip pengadaan. Kita akan mengedepankan solusi bukan somasi sesuai dengan prinsip pengadaan barang/jasa pemerintah sesuai dengan pasal 5 Peraturan Presiden 54/2010 junto Peraturan Presiden 70/2012.
Putusan terhadap keterlambatan pekerjaan sesuai perpres 54/2010 sebagaimana diubah melalui Perpres 70/2012 beserta petunjuk teknisnya adalah :
- Dapat dikenakan denda keterlambatan sebesar 1/1000 (satu perseribu) dari harga Kontrak atau bagian Kontrak untuk setiap hari keterlambatan dan tidak melampaui besarnya Jaminan Pelaksanaan (pasal 120) kecuali keterlambatan diakibatkan keadaan kahar (pasal 91 ayat 5);
- Dapat dilakukan pemutusan kontrak (Pasal 93)
Dengan mendasari prinsip-prinsip pengadaan, saya mencoba untuk menyimpulkan layak apa tidaknya pekerjaan dilanjutkan sesuai aturan yang berlaku. Berikut kesimpulannya dengan asumsi waktu analisa pada bulan Desember
No . | Putusan . | Pertimbangan . | Alasan . |
1 | Pekerjaan dihentikan |
|
|
2 | Pekerjaan dilanjutkan |
|
|
Dari keterangan pada tabulasi di atas terlihat jelas bahwa pemilihan antara Pemutusan Kontrak atau Melanjutkan Kontrak didasari oleh pertimbangan teknis terhadap kondisi pekerjaan eksisting.
Selain itu ada banyak pertimbangan lain yang mempengaruhi putusan yang berkaitan dengan kondisi pekerjaan akhir tahun namun putusan dengan pertimbangan teknis menjadi satu putusan yang objektif dan akutabel. Lebih dan kurang akibat putusan menjadi bagian konsekuensi pekerjaan yang harus diambil oleh seorang PPK.
Prinsipnya, apapun putusan PPK yang didasari pertimbangan teknis terhadap kondisi pekerjaan selama tidak melanggar prinsip-prinsip pengadaan akan menjadi putusan yang akuntabel
Pendapat saya hal ini sejalan dengan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 25/PMK.05/2012 yang secara implisif menginginkan pekerjaan tetap diteruskan agar dapat secara effektif dan berdayaguna sesuai dengan tujuan pelaksanaan pekerjaan. Dan EDARAN KEPALA LKPP NOMOR 2 Tahun 2013 "memfasilitasi" maksud tersebut.
Tulisan ini murni pendapat pribadi, tidak tersirat sedetikpun untuk mengkudeta dan mempertakut pemahaman. Semua semata-mata memberikan argumentasi demi harmonisisasi dari hal terkecil sampai terbesar, dan kita harus bisa mensiasati kecerdasan itu lebih awal agar labil putusanisasi seorang PPK tetap lebih baik dan kita bisa berbangga untuk itu.
Pengadaan yang kridibel sejahterakan bangsa
Share This
Like This
No comments :
Post a Comment
Silahkan menyampaikan pertanyaan, komentar dan saran serta masukan untuk menjadi bagian dalam perbaikan