Alam yang membentang indah, seindah untaian yang terindah dimuka bumi ini,
Hutan yang menutup kokoh sebagai selimut bagi kerentangan tubuh kami,
Air yang menari gemulai sebagai selendang bagi kekuatan dari kekurangan kami,
Udara yang membelai lembut sebagai pendingin bagi gersangnya bathin kami,
Kami yakin, tentu semua yang Kau berikan bukanlah sia-sia dan percuma,
Peliharalah kami dengan pemeliharaan yang terbaik menurutMu untuk kami.
Hutan dan sumberdaya alam (SDA) pada umumnya, terus mengalami kerusakan. Tidak menjadi persoalan seandainya kerusakan tersebut sebagai akibat dari suatu rencana yang disepakati publik, dan akumulasi kapital yang diperoleh dari eksploitasi SDA tersebut menjadi modal bagi pengembangan kebutuhan masyarakat secara keseluruhan. Jika kesepakatannya seperti itu, Indonesia masa depan akan berangsur-ansur melepaskan diri dari ketergantungannya terhadap anugerah alam. Kemandirian masyarakat, kuatnya modal sosial dan sumberdaya manusia dapat menjadi tumpuan untuk mewujudkan efisiensi pengelolaan SDA dan memulihkan rusaknya SDA yang kini sudah terjadi. Dengan demikian benarbenar terjadi keseimbangan baru dari proses transformasi modal SDA (natural capital) menjadi modal sosial (social capital).
Tetapi realitasnya tidak demikian. Kerusakan hutan dan SDA yang dilandasi oleh eksploitasi dengan dasar legal, ilegal, atau ilegal yang dilegalkan, tidak menghasilkan modal yang secara nyata dibutuhkan untuk pengembangan masyarakat. Eksploitasi hutan dan SDA, secara umum, terus memicu pertentangan antar kelompok masyarakat (misal pengusaha dan masyarakat lokal), pusat dan daerah, antar wilayah (hulu dan hilir aliran sungai), dan antar sektor (misal pertambangan dan kehutanan). Efek ganda pemanfaatan SDA bagi daerah hanya bersifat jangka pendek. Daerah-daerah yang telah habis hutan dan SDAnya terbukti tidak saja terus menurun kegiatan ekonominya, tetapi juga senantiasa siap menerima'kemarahan alam' berupa banjir, longsor, asap tebal, berkurangnya hasil pertanian dan tangkapan ikan, serta pencemaran air minum. Implikasinya, apa yang telah tertanam sebagai modal ekonomi dan berbagai bentuk bangunan sosial hancur dan kembali merenggut kesejahteraan masyarakat yang telah lama didambakan.
Masyarakat umumnya berharap ada perbaikan sistem pengelolaan SDA secara mendasar. Namun perbaikan tersebut belum kunjung tiba. Lalu secara keseluruhan pada politikus, birokrat, pengusaha, juga masyarakat pada umumnya jatuh pada alasan yang sepertinya sangat masuk akal. Semua itu tergantung pada fokus penyelesaian masalah-masalah politik dan ekonomi, yang kini menjadi perhatian hampir semua orang. Hal tersebut antara lain terjadi karena dampak buruk akibat kerusakan SDA masih selalu dikaitkan sebagai kehendak Tuhan dan melepas tanggungjawab para pengelola SDA.
BERANI MENAFIKAN HUKUM ALAM?
Hutan dan sumberdaya alam lainnya berperilaku menurut hukumnya sendiri. Sifat daya alam bahkan mengatur hubungan antar individu dan kelompok masyarakat. Aliran sungai yang membentang dari hulu hingga ke hilir membuat ketergantungan kelompok masyarakat di hilir terhadap kelompok masyarakat di hulu. Adanya bentang alam dan pemandangan indah meskipun jasanya dapat dikonsumsi masyarakat sebebas-bebasnya, namun masyarakat harus mempunyai lembaga publik untuk mempertahankan bentang alam tersebut, jika fungsinya ingin dipertahankan. Demikian pula berbagai urusan yang menyangkut pemanfaatan laut, udara, hutan, lahan basah, ruang hidup perkotaan, maupun berbagai kegiatan ekonomi jika dikehendaki masih tetap bisa dipertahankan dalam jangka panjang.
Hukum alam juga menciptakan sumberdaya yang tidak mungkin menjadi hak perorangan. Oleh karena itu masyarakat selalu akan mengandalkan adanya lembaga publik atau perorangan yang dapat memperjuangkan kelestarian SDA. Hukum alam juga mengatur cash flow. Ia tidak hanya menawarkan "aktiva lancar" misalnya berbentuk air bersih sebagai kebutuhan dasar manusia, tetapi juga memberikan wujud bentang alam berupa hutan lindung, danau dan air terjun sebagai "aktiva tetap".
Namun tatanan pemerintahan sering naif. Pemerintah sebagai regulator dalam hal kebijakan dipandang selalu tidak konsisten terhadap aturan hukum yang telah dibuat. Ketidakkonsistenan ini tercermin dalam hal pembangunan yang selalu berorientasi pada sisi komersial saja dan cendrung mengabaikan kelestarian alam. Tradisi “ceremonial” yang selalu dibesar-besarkan (walau substansinya kecil) menjadi kampanye tersendiri bagi pemerintah dalam “menunjukan” kepeduliannya pada satu sisi. Namun di sisi lain ,ijin usaha yang berorientasi bisnis yang berkaitan dengan alam ”diobral”. Misalnya, tidak sedikit hutan mangrove yang terbenam oleh geladak kapal, tidak secumit hutan lindung yang tersulap menjadi bangunan komersial, yang terakumulasi menjadi Dana Reboisasi (DR) yang sampai sekarang sangat jauh berimbang dalam hal pelaksanaannya. Padahal, padahal, penanaman 1 juta pohon jauh sekali dengan fungsi 10 batang pohon yang ditebang. Effektivitasnya sangat bertolak belakang, dan 99 % tidak berhasil bahkan menjadi ladang baru dengan kebijakan baru. Selama dunia ini belum kiamat, hukum alam itu ada. Ia sangat arif karena tidak pernah menawarkan diri untuk dipentingkan. Namun jangan lupa, dalam kearifannya itu ia tetap berjalan secara konsisten, tidak pernah berhenti, impersonal, dan tanpa kompromi. Ia bahkan juga tidak mengenal keadilan dan tatanan ekonomi-politik bikinan manusia.
Kebijakan ekonomi nasional dan daerah yang secara umum sepakat untuk menguras SDA, tanpa memperhatikan daya dukungnya, telah dan terus akan diadili oleh hukum alam. Ironisnya hukum alam berlaku pula bagi masyarakat yang justru tidak pernah menerima keadilan bikinan manusia. Kebanyakan orang politik beranggapan pengetahuan mengenai hutan dan SDA tidaklah penting.
Pengetahuan seperti itu hanyalah pengetahuan teknis yang letaknya di bawah pengetahuan politik. Pembicaraan mengenai hutan dan SDA harus diletakkan di nomor ke sekian, setelah orang politik bicara. Dalam suatu kesempatan, sekelompok anggota DPRD dari partai tertentu mengatakan bahwa dukungan jutaan orang dibelakangnya menjadi sumber legitimasi apa yang mereka perjuangkan, meskipun yang mereka perjuangkan itu meningkatkan kerusakan hutan dan SDA secara besar-besaran.
Demikian pula yang pernah dikatakan oleh beberapa orang politikus kawakan, dan juga beberapa pejabat yang menjadi andalan partai-partai politik. Pendeknya, kepentingan pelestarian hutan dan Sumberdaya Alam tidak pernah mungkin menjadi kenyataan apabila tidak sinkron dengan kepentingan politik. Ia harus menunggu setelah masyarakat politik menganggapnya penting, tidak peduli sampai kapan mereka menyadari semua itu dan bersedia mendukungnya.
Secara substansi, manusia tidak bisa dipisahkan dengan lingkungannya, bahkan sangat tergantung pada lingkungannya. Untuk memenuhi kebutuhan dasarnya, manusia memanfaatkan sumberdaya alam yang ada di lingkungan sekitarnya. Secara substansi mustahil makhluk hidup termasuk manusia bisa dipisahkan dengan lingkungan karena lingkungan merupakan bagian dari kehidupan itu sendiri. Salah satu kesulitan pengelolaan hutan saat ini adalah mengenai luas wilayah hutan yang sebenarnya dimiliki oleh negara kita masih menjadi perdebatan. Menurut Pasal 1 Undang-Undang No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan disebutkan pengertian hutan adalah sebagai berikut :
”Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya lama hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan.”
Manusia sebagai penguasa lingkungan hidup di bumi berperan besar dalam menentukan kelestarian lingkungan hidup. Manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang berakal budi mampu merubah wajah dunia dari pola kehidupan sederhana sampai ke bentuk kehidupan modern seperti sekarang ini. Namun sayang, seringkali apa yang dilakukan manusia tidak diimbangi dengan pemikiran akan masa depan kehidupan generasi berikutnya. Banyak kemajuan yang diraih oleh manusia membawa dampak buruk terhadap kelangsungan lingkungan hidup, khususnya hutan.
Beberapa ulah manusia yang baik secara langsung maupun tidak langsung membawa dampak pada kerusakan lingkungan hidup antara lain:
1. Penebangan hutan secara liar (penggundulan hutan).
2. Merusak hutan bakau.
3. Penimbunan rawa-rawa untuk pemukiman/industri.
4. Pembuangan sampah di sembarang tempat.
5. Bangunan liar di daerah aliran sungai (DAS).
6. Pemanfaatan sumber daya alam secara berlebihan di luar batas.
Kerusakan hutan di Batam lebih dominan disebabkan ulah bangunan dan pemukiman liar yang tanpa “dapat dibendung” dengan alasan klise “hak hidup” menjadi masalah yang substansi dalam pengembangan Hutan sebagai Daerah Tangkapan Air. Kebijakan yang selalu berubah dari pemerintah sebagai regulasi juga mempunyai andil dalam penempatan penduduk. Sungguh masalah yang sangat komplek yang pada satu sisi bersebelahan dengan kehidupan hutan (penopang) dan satu sisi bersebelahan dengan manusia (yang ditopang). Sekali lagi dengan alasan klise, perubahan Masterplan kembali dibuat. Kita bisa lihat dengan mata “tak berbaju” kondisi hutan di Batam sungguh sangat memprihatinkan. Ibarat ban yang tidak bervelg yang kosong ditengah tanpa pegangan, demikianlah bentuk hutan di Batam. Kondisi demikian bukan kondisi yang perlu ditoleransi jika kita semua tidak mengingikan kehidupan yang buruk dimasa depan.
Kegiatan kampanye terhadap kelestarian hutan sungguh selalu digalakkan dengan berbagai slogan dan mementum di pulau sungguh tidak besar. Tapi sekali lagi selalu tidak membekas terhadap hutan itu sendiri. Satu sisi program langit biru yang dicanangkan di pulau Batam begitu “me-raksasa” tulisannya, namun sayang selalu dimbangi dengan polusi dan populasi yang tak berimbang. Program selalu dicanangkan dua atau tiga kali setahun, namun polusi dan populasi 2 kali satu hari. Sungguh tidak maksimal.
Dalam kaitannya dengan pengelolaan hutan di Pulau Batam yang sebagian besar merupakan hutan lindung, sungguh suatu usaha yang wajib dilakukan. Ditambah lagi hutan di Pulau Batam seluruhnya merupakan daerah penyangga (bufferzone) dan daerah tangkapan air (cathment area), maka penanganan akan kelestariannya merupakan usaha yang sangat penting selagi kehidupan di Pulau Batam masih ingin berjalan.
Persoalan yang paling menonjol dan sudah sejak lama menjadi masalah besar bagi keberadaan hutan di Batam yaitu pesatnya pertambahan jumlah penduduk/pendatang (urban) yang datang ke Pulau Batam tanpa pekerjaan (jobless) dan banyak diantaranya bermukim di lokasi-lokasi konservasi tanah dan air secara ilegal. Keberadaan rumah bermasalah (ruber) yang menyebar di Pulau Batam tanpa “terkendali” yang sebagian besar berada diareal hutan menjadi permasalahan serius bagi pemerintah. Hutan di pulau Batam sangat vital peranannya dalam menyangga kebutuhan air dan sekaligus sebagai paru-paru kota sangat penting untuk medapatkan perlindungan dari gangguan dan ancaman pengrusakan termasuk perladangan dan perttanian konvensional serta pembukaan lahan untuk pertanian.
Pemerintah harus mengambil suatu kebijakan yang suka atau tidak suka harus memprioritaskan pada keselmatan hutan dan sumberdaya alam diatas kepentingan lainnya yang hanya bersipat sektoral dan sementara. Eksploitasi hutan yang terus menerus berlangsung sejak dahulu hingga kini tanpa diimbangi dengan penanaman kembali, menyebabkan kawasan hutan menjadi rusak. Pembukaan lahan dan pembangunan ruber yang dilakukan manusia merupakan salah satu penyebab utama terjadinya kerusakan hutan di pulau Batam. Padahal hutan merupakan penopang kelestarian kehidupan di bumi, sebab hutan bukan hanya menyediakan bahan pangan maupun bahan produksi, melainkan juga penghasil oksigen, penahan lapisan tanah, dan menyimpan cadangan air.
Upaya yang dapat dilakukan untuk melestarikan hutan:
1. Reboisasi atau penanaman kembali hutan yang gundul.
2. Melarang pembabatan hutan secara sewenang-wenang.
3. Menerapkan sistem tebang pilih dalam menebang pohon.
4. Menerapkan sistem tebang–tanam dalam kegiatan penebangan hutan.
5. Menerapkan sanksi yang berat bagi mereka yang melanggar ketentuan mengenai pengelolaan hutan.
Untuk mewujudkan berbagai upaya tersebut pemerintah sebagai regulator perlu mendorong usaha ekstra dengan memfasilitasi para pihak serta mengajak berbagai komponen daerah baik private sector, lembaga swadaya masyarakat dan masyarakat untuk secara kreatif mengembangkan bentuk-bentuk kolaboratif pengelolaan kawasan-kawasan hutan lindung yang telah ditetapkan dalam PERDA tata ruang. Ini juga sekaligus merupkan wujud implementasi nyata dalam mendorong pembangunan yang berkelanjutan serta lebih berpartisipatif. Perlu juga dipikirkan kemungkinan pengembangan terpadu antara unit pengelolaan pada kawasan-kawasan industri untuk ikut memelihara kawasan-kawasan hutan lindung baik yang berbatasan langsung atau tidak dalam kebijakan (CSR/ Corporate social responsibility) dari setiap unit usaha. Pengelolaan kawasan ini dapat juga dikemas menjadi kegiatan produktif yang dapat mendukung peningkatan PAD daerah dan memberikan alternative pekerjaan bagi masyarakat yang hidup disekitar kawasan hutan lindung dalam penerapan PERDA tata ruang.
Secara langsung kawasan-kawasan hutan lindung tersebut telah berkontrobusi untuk menyerap Carbon (CO2), keterwakilan tipe-tipe hutan di dunia, gudang keanekaragaman hayati, fungsi penyangga dan penyedia air tawar, dan sebagai lahan produktif non eksploitasi yang dapat memberikan alternative income. Serta ikut mencegah angka bencana alam dan dampak negative terhadap alam yang ditimbulkan dari aktivitas manusia.
Penebangan kayu ilegal umumnya terkait dengan masalah besarnya tekanan penduduk (lokal) terhadap lahan termasuk sumberdaya hutan, kapasitas industri yang melebihi pasokan kayu legal, dan masalah konsistensi dan penegakan hukum. Sedangkan masalah perambahan hutan oleh masyarakat lokal yang tinggal di sekitar hutan terjadi karena mereka merasa tidak dilibatkan dalam pengelolaan hutan oleh pemerintah dan/atau pengusaha.
Kerusakan hutan juga disebabkan oleh proses pembuatan kebijakan pengelolaan hutan yang tidak transparan karena diatur oleh wewenang negara, tanpa ada ruang untuk berbeda pendapat. Proses pembuatan keputusan bersifat sentralistik dan hirarkis serta mengabaikan masyarakat lokal dan daerah. Sehingga melihat berbagai persoalan yang telah dijabarkan sebelumnya, keterlibatan masyarakat lokal dan daerah merupakan hal yang sangat penting dalam pengelolaan hutan.
Indonesia sebagai negara yang memiliki hutan tropis terluas ketiga terluas di dunia, memiliki masyarakat yang kehidupannya sangat tergantung pada hutan. Hal itu menyebabkan keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan hutan menjadi hal yang mutlak untuk dilakukan. Tetapi walaupun peran serta masyarakat telah dijamin melalui Undang-Undang, hal tersebut belum menjamin terpenuhinya hak masyarakat untuk berperanserta dalam pengelolaan hutan.
Ada berbagai faktor yang menyebabkan hal itu terjadi, hal itu antara lain:
1. Paradigma sistem pengelolaan hutan yang masih berorientasi pada kepentingan ekonomi jangka pendek.
2. Hutan dipandang sebagai sumber daya alam yang tidak pernah habis sehingga dimanfaatkan sebesar-besarnya.
3. Keengganan dari pemerintah untuk benar-benar menempatkan masyarakat sebagai mitra sejajar dalam pengambilan kebijakan.
4. Ketidak siapan masyarakat untuk berperan aktif karena terbiasa dibimbing dan dibina oleh pemerintah.
5. Kurangnya pengetahuan dan kemampuan masyarakat yang tinggal di dan di sekitar hutan untuk mencari sumber penghasilan lain sehingga sangat tergantung pada hutan.
Peran serta masyarakat adalah syarat terjadinya pengelolaan hutan berkelanjutan. Tindakan pemerintah dengan tidak melibatkan masyarakat dalam pengelolaannnya, hanya akan menyebabkan kegagalan program dan rencana yang dilakukan oleh pemerintah. Contohnya adalah program reboisasi yang gagal karena masyarakat tidak ikut serta dalam pemeliharaannya, bahkan pada beberapa kasus, masyarakat sengaja menggagalkan program dan rencana tersebut karena mereka tidak dilibatkan.
Agar pengelolaan hutan berbasis masyarakat dapat berjalan dengan lancar maka ada beberapa hal yang harus dilakukan :
1. Dukungan pemerintah terhadap pengelolaan hutan berbasis masyarakat dengan memberikan kesempatan kepada mereka untuk mengelola hutan.
2. Adanya kelembagaan peranserta Masyarakat Asli dan Petani Lokal, karena masyarakat asli dan petani lokal telah melakukan pemanfaatan sumberdaya hutan secara berkelanjutan.
3. Membuat suatu mekanisme dimana masyarakat asli dan petani setempat dapat mempunyai kendali atas sumberdaya sehingga memastikan pembagian keuntungan yang seimbang yang berasal dari pemanfaatan sumberdaya dengan cara yang diputuskan mereka sendiri.
4. Melibatkan secara aktif masyarakat yang berada di dan di sekitar hutan dalam setiap rencana dan program.
5. Keterbukaan informasi mengenai kebijakan, rencana dan program yang akan dijalankan oleh pemerintah.
Share This
Like This
No comments :
Post a Comment
Silahkan menyampaikan pertanyaan, komentar dan saran serta masukan untuk menjadi bagian dalam perbaikan