tav

23 December 2011

FUNGSI VERSUS STATUS

Jabatan itu FUNGSI bukanlah STATUS. Kita mesti merubah paradigma berpikir yang menggangap jabatan dg berbagai tunjangan dan fasilitas yang disandangnya kepada fungsi yang merupakan amanah dengan berbagai “dosa dan senjata” yang siap mengancamnya. Di Indonesia justru kebalikannya, tradisi “dipaksa” mundur menjadi tradisi pemimpin kita. Dipaksa kalau “memang terbukti salah”, namun buat kredibilitas dan reputasi itu masalah lain.

Dalam Islam jabatan itu AMANAH yang “kalau boleh” semua orang “ISLAM” tidak akan bersedia menjadi pemimpin atau menerima jabatan sebab jabatan itu ibarat ular yang berbadan lembut dan berwarna indah namun sangat berbisa. Namun ancaman untuk orang yang tidak bersedia "bila dipercaya" mungkin inilah yang menjadi alasan seseorang menerima amanah tersebut, namun tidak "meminta". Jabatan cendrung aplikasinya keada pemimpin, bisa berpredikat presiden, menteri, direktur, imam, hingga kepada yang terkecil, suami.

Kecendrungan untuk "meminta" 85 % tertulis pada kepala pemimpin kita saat ini. Media Demokrasi sebagai media keterbukaan menjadi alasan seseorang "berhak" untuk mendapatkan jabatan sebagai pemimpin.

Dalam sebuah riwayat dikisahkan bahwa pada suatu hari Abdurrahman Ibn Sumurah datang kepada Rasulullah SAW dengan meminta suatu jabatan. Bagaimana jawaban Rasulullah ?. “Wahai Abdurrahman, janganlah engkau meminta kekuasaan sebab jika engkau diberi kekuasaan karena engkau meminta maka kekuasaan itu akan membebanimu dan engkau sendiri yang harus menanggungnya. Tapi jika engkau diberi kekuasaan tanpa engkau memintanya niscaya engkau akan diberi kemudahan dalam menjalankannya.”

Kisah di atas memberi pelajaran berharga kepada kita dan terutama para pengambil keputusan, baik dalam lingkup kecil seperti lingkungan RT, perusahaan, organisasi kemasyarakatan, maupun dalam lingkup yang lebih luas seperti pemerintahan daerah dan negara bahwa jabatan yang diberikan kepada orang yang memintanya akan menjadikan sebuah malapetaka. Hal ini dikarenakan sedikit saja dari mereka yang menyadari betapa “ngeri”-nya konsekuensi di akhirat kelak terhadap jabatan yang mereka kejar. Banyak hadits-hadits yang berisi kecaman dan ancaman kepada para pemegang jabatan atau pemimpin yang tidak mampu menjalankan amanahnya dengan adil. Begitu pula terhadap pemimpin yang sombong dengan kekuasaannya.

Dalam konteks politik, berlomba-lombanya orang untuk dapat duduk sebagai calon legislatif maupun eksekutif menjadi pertanda bahwa jabatan saat ini hanya dipandang sebagai sebuah prestise dan kebanggaan semata serta cara untuk memperkaya diri melalui alat kekuasaan. Mereka sama sekali tidak mempelajari hadits-hadits Rasulullah SAW sebelum maju menjadi calon pemimpin sehingga nafsu politik telah membuat pintu hatinya tertutup oleh kebenaran.

Hadits di atas juga semestinya menjadi pegangan bagi para manajer personalia dalam mengelola sumber daya manusia perusahaan. Ketika ada karyawan yang meminta suatu jabatan, apalagi tanpa disertai dengan kemampuan yang memadai maka para manajer personalia harus waspada. Dalam hal ini, perlu dipahami bahwa suatu jabatan strategis harus diberikan hanya kepada orang yang memenuhi syarat “amanah” sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits Rasulullah SAW “Akan berlaku kiamat jika disia-siakan amanah.” Sahabat kemudian bertanya, “Bagaimanakah bentuk dari menyia-nyiakan amanah itu ya Rasulullah ?” Beliau menjawab, “Jika sebuah urusan diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya.” Innalillahi wa inna ilaihi raji’un.

Hadits tersebut menjadi “warning” bagi para manajer personalia bahwa sebuah keputusan untuk menunjuk seorang karyawan menduduki suatu jabatan tertentu harus dilandasi dengan alasan yang kuat bahwa karyawan tersebut dapat bersikap “amanah”. Penjelasannya adalah bahwa “amanah” itu hanya akan terpenuhi apabila sang pemimpin mempunyai bekal “keahlian” atau “skill” yang mencukupi. Jadi, intinya jangan memberikan amanah kepada orang yang bukan ahlinya karena niscaya akan terjadi kehancuran. Sayangnya selama ini masih terjadi “distorsi” terhadap makna “amanah” ini. Seringkali orang mengartikan “amanah” hanya sekedar “mampu menjalankan tugasnya dengan jujur”. Padahal kejujuran tanpa disertai dengan keahlian menjadi timpang dan kekuasaan pun akan tetap hancur. Jadi yang dimaksud “amanah” dalam hadits di atas adalah seseorang yang memiliki “keahlian” sehingga dengan keahliannya itu ia mampu menjalankan organisasi dengan baik, termasuk di dalamnya adalah kejujuran dan transparansi dalam menjalankan kepemimpinannya.

Kesimpulannya, jangan sekali-kali memberikan suatu jabatan kepada orang yang memintanya namun berikanlah kepada orang yang tidak memiliki ambisi kekuasaan serta memenuhi syarat amanah yaitu orang yang memiliki keahlian yang memadai dan integritas moral yang tinggi.

Semoga tulisan ini berguna bagi kita semua. Dan kita termasuk ke dalam kategori pemimpin yang baik minimal pemimpin dalam keluarga.

Share This


Like This

1 comment :

  1. This comment has been removed by a blog administrator.

    ReplyDelete

Silahkan menyampaikan pertanyaan, komentar dan saran serta masukan untuk menjadi bagian dalam perbaikan