tav

12 June 2013

Fenomena Eyang Subur (2)


Menyikapi suatu kemungkaran

Salah seorang sahabatku pernah mengatakan satu kalimat yang hingga sekarang tak pernah kulupakan, karena kalimat tersebut sangat indah namun sangat sulit untuk diterapkan dalam kurun waktu yang singkat. Kalimat tersebut membutuhkan strategi yang baik dan pantas. Walaau bahasanya mungkin terkesan tidak enak namun tujuannya sungguh mengenakan.

Kalimat tersebut setelah kuramu bunyinya kira-kira seperti ini : “tamparlah mukanya namun jangan sampai sakit karena tamparanmu”. 

 
Kalimat tersebut jua-lah yang menggerakan jemariku untuk menyusun rangkaian kalimat yang mungkin tidak mengenakan sebahagian, mungkin juga mengenakan sebahagian lainnya.

Berangkat dari fenomena “Eyang Subur” yang bersiteru dengan Adi Bing Slamet cs, sungguh merupakan bukti nyata ketidakbijaksanaan. Terlepas siapa yang salah dan siapa yang benar. Dan tulisan ini juga bukan sebagai “pentungan” untuk memukul siapa, namun sekedar berbagi ingat dan mengingatkan.

Kita yang masih menyandang predikat “manusia” tidaklah diadakan untuk menilai orang lain. Tidak. Kita hanya diperintahkan berbakti dengan segala yang ada untuk menunjukan kebesaran Tuhan Yang Maha Besar. Kesalahan yang dinilai dari unsur yang dominan bersipat subjektif. Kesalahan dinilai dari cara membandingkan satu kesalahan dengan kesalahan lain. Kesalahan hanya dinilai dengan ketidakpopuleran kesalahan tersebut dengan kesalahaan lain. Kesalahan ya...apapun tetaplah kesalahan jika keluar dari makhluk yang namanya manusia.

Tak ada gading yang tak retak, tak ada manusia yang sempurna, selalu ada kelemahan dan kekurangannya. Itu predikat manusia. Setiap manusia mesti mempunyai kesalahan dan sebaik-baik mereka adalah yang bertaubat kepada Allah, menyadari kesalahannya, lalu menyesal dan bertekad untuk tidak  mengulanginya lagi.

Oleh karena itu, nasehat-menasehati menuju kebenaran harus digalakkan. Tinggal bagaimana mekanismenya.


Lihatlah bagaimana Allah Tuhan Yang Maha Lembut memerintahkan nabi-Nya untuk berdakwah kepada seorang Fir’aun. Bayangkan, seorang Hitler yang hanya membuat Eropa berkecamuk dalam perang besar dan memakan korban jutaan jiwa sudah digambarkan sebagai orang yang paling bengis di dunia, seorang Stalin yang hanya bertanggung jawab atas kematian massal jutaan rakyatnya sudah dikategorikan sebagai diktator kejam berdarah dingin. Bagaimana dengan Fir’aun, yang merupakan penguasa terbesar di zamannya, yang telah memaksa manusia sujud kepadanya, yang tega membunuh bayi yang baru keluar dari perut ibunya?


Tetapi lihat, apakah Allah kemudian menyuruh Nabi Musa dan Harun untuk langsung melaknatnya? Tidak. Allah menyuruh mereka untuk berdakwah, untuk menyampaikan kebenaran di hadapan Fir’aun.

Dan bagaimana mereka harus menyampaikan kebenaran itu? Apakah dengan pemberontakkan? Apakah dengan sumpah serapah? Apakah dengan cacian dan makian? Sungguh, tidaklah mereka diperintahkan berdakwah kecuali dengan cara yang lemah lembut. 

Lihatlah bagaimana Allah ‘azza wa jalla memerintahkan nabi-Nya untuk berdakwah kepada seorang Fir’aun. Bayangkan, seorang Hitler yang hanya membuat Eropa berkecamuk dalam perang besar dan memakan korban jutaan jiwa sudah digambarkan sebagai orang yang paling bengis di dunia, seorang Stalin yang hanya bertanggung jawab atas kematian massal jutaan rakyatnya sudah dikategorikan sebagai diktator kejam berdarah dingin. Bagaimana dengan Fir’aun, yang merupakan penguasa terbesar di zamannya, yang telah memaksa manusia sujud kepadanya, yang tega membunuh bayi yang baru keluar dari perut ibunya? Masya Allah...super banget deh!

Tetapi lihat, apakah Allah kemudian menyuruh Nabi Musa dan Harun untuk langsung melaknatnya? Tidak. Allah menyuruh mereka untuk berdakwah, untuk menyampaikan kebenaran di hadapan Fir’aun.

Dan bagaimana mereka harus menyampaikan kebenaran itu? Apakah dengan pemberontakkan? Apakah dengan sumpah serapah? Apakah dengan cacian dan makian? Sungguh, tidaklah mereka diperintahkan berdakwah kecuali dengan cara yang lemah lembut.

Bagi yang dinasehati seharusnya ia berterima kasih kepada orang yang telah menunjukkan kekurangan dan kesalahannya, hanya saja hal ini jarang terjadi.

Pada umumnya manusia tidak suka dipersalahkan, apalagi kalau teguran itu disampaikan kepadanya dengan cara yang tidak baik. Maka seorang pemberi nasehat haruslah mengetahui metode yang baik agar nasehatnya dapat diterima oleh orang lain. Di antara metode nasehat yang baik adalah memberi nasehat kepada orang lain secara rahasia, tanpa diketahui oleh orang lain.

Saya yakin tulisan semacam ini sudah banyak dan sudah sering didengar, dibaca maupun disampaikan namun dalam kesempatan ini saya akan kembali menyampaikan semata-mata karena tidak ingin “trade mark” fenomena publikasi tentang kejelekan dan aib ini dianggap cara Islami sekalipun yang melakukannya adalah seorang Islam.

"Nasehat itu merupakan kewajiban manusia atas manusia lainnya dalam rangka Hablumminannas wa hablum minallah.  Adab menyampaikan nasehat 
Haruslah dilakukan dengan bijaksana karena itu hanya kewajiban bukan hak. Kita tidak dituntut hukuman jika yang dinasehati tidaklah mentaati karena semua tentunya punya pandangan akal yang berbeda.tetapi dalam teknik penyampaiannya haruslah dengan secara rahasia, tidak boleh tidak, karena barangsiapa yang menasehati saudaranya di hadapan orang lain, maka berarti dia telah mencelanya, dan barangsiapa yang menasehatinya secara rahasia, maka berarti dia telah memperbaikinya.

Sesungguhnya penyampaian dengan penuh perhatian  kepada saudaranya sesama muslim adalah kritik yang membangun, lebih besar kemungkinannya untuk diterima dibandingkan penyampaian dengan maksud mencelanya." 

Apabila engkau memberi nasehat, maka nasehatilah secara rahasia, jangan di hadapan orang lain, dan cukup dengan memberi isyarat tanpa terus terang secara lansung, kecuali apabila orang yang dinasehati tidak memahami isyaratmu, maka harus secara terus terang. Jika engkau melampaui adab-adab tadi, maka engkau orang yang zalim, bukan pemberi nasehat, dan gila ketaatan serta gila kekuasaan, bukan pemberi amanat dan pelaksana hak ukhuwah.

Ini bukanlah termasuk hukum akal dan hukum persahabatan, melainkan hukum rimba, seperti  seorang penguasa dengan rakyatnya, dan tuan dengan hamba sahayanya.

"Seorang mu'min menutup (aib saudaranya) dan menasehatinya sedangkan seorang fajir (pelaku maksiat) membocorkan (aib saudaranya) dan memburuk-burukkan" yaitu bahwa nasehat itu dengan secara rahasia, sedangkan menjelek-jelekkan itu ditandai dengan penyiaran.

Dan orang-orang salaf membenci amar ma'ruf nahi munkar secara terang-terangan, mereka suka kalau dilakukan secara rahasia antara yang menasehati dengan yang dinasehati, dan ini merupakan ciri nasehat yang murni dan ikhlas karena si penasehat tidak mempunyai tujuan untuk menyebarluaskan aib-aib orang yang dinasehatinya,ia hanya mempunyai tujuan menghilangkan kesalahan yang dilakukannya.

Sedangkan menyebarluaskan dan menampakkan aib-aib orang lain, maka hal tersebut termasuk yang diharamkan oleh Allah dan RasulNya.

"Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar (berita) perbuatan keji itu tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka adzab yang pedih di dunia dan di akhirat. Dan Allah mengetahui, sedang kalian tidak mengetahui." (Surat An-Nuur: 19) 

"Perlu diketahui bahwa nasehat itu adalah pembicaraan yang dilakukan secara rahasia antaramu dengannya, karena apabila engkau menasehatinya secara rahasia dengan empat mata, maka sangat membekas pada dirinya, dan dia tahu bahwa engkau pemberi nasehat, tetapi apabila engkau bicarakan dia di hadapan orang banyak, maka besar kemungkinan bangkit kesombongannya yang menyebabkan ia berbuat dosa dengan tidak menerima nasehat, dan mungkin pula ia menyangka bahwa engkau hanya ingin balas dendam dan mendiskreditkannya serta untuk menjatuhkan kedudukannya di mata manusia sehingga ia tidak menerima isi nasehat tersebut. Tetapi apabila dilakukan secara rahasia antara kamu dan dia  berdua, maka nasehatmu itu amat berarti baginya, dan dia akan menerima darimu."

Dalam satu riwayat disebutkan (jadikan i’tibar)

Suatu hari ada seseorang yang menemui Khalifah Harun Al Rasyid kemudian berkata, “Wahai Harun, aku akan berbicara kepadamu dengan keras, dan aku ingin menasihatimu!” Kemudian Harun Al Rasyid menjawab,

“Wahai Fulan, aku tidak mau mendengar perkataanmu itu. Sebab aku tidaklah lebih jahat dari Fir’aun dan engkau pun tidak lebih baik dari Musa ‘alaihissalam. Padahal Allah ta’ala telah memerintahkan Musa untuk berkata pada Fir’aun dengan perkataan yang lembut”

Inilah yang seharusnya dipikirkan oleh orang-orang yang berdakwah tetapi sering melampaui batas. Mereka berdakwah kepada saudara-saudara mereka yang sesama muslim seakan-akan yang didakwahi itu jauh lebih buruk daripada orang kafir. Inikah yang disebut dakwah Islamiyah? Yang justru pena dan lidahnya jauh lebih tajam untuk saudara-saudara mereka sesama kaum muslimin? Padahal si pendakwah tadi belum tentu ia lebih baik dari yang didakwahkan, dan dijamin selamat dari kesalahan. Subhanallah.

Banyak berkaca bisa jadi memberikan kewaspadaan terhadap apa yang akan kita ucapkan dan yang kita lakukan.


“Barang siapa menutupi aib saudaranya (yang muslim), maka Alloh akan menutupi aibnya pada hari kiamat. Dan barang siapa yang membuka aib saudaranya maka Alloh akan membuka aibnya, sehingga Alloh akan mempermalukannya lantaran aibnya, sehingga ia merasa malu di rumahnya sendiri.”


Share This


Like This

No comments :

Post a Comment

Silahkan menyampaikan pertanyaan, komentar dan saran serta masukan untuk menjadi bagian dalam perbaikan