tav

19 June 2013

Seputar Bai'at dan Lika Likunya


Pengertian Bai'at

Bai’at dalam pengertian kata berarti janji setia. Janji setia disini dimaksudkan sebagai pelaksanaan demi terlaksananya prinsif tolong menolong dengan syarat dan ketentuan yang disepakati kedua belah pihak. Janji setia membutuhkan adanya ketenangan dan saling percaya maupun kepercayaan, karena janji setia merupakan perwujudan dari prinsip tolong menolong didalam kebaikan dan kemanfaatan serta takwa. Janji setia merupakan “ perkataan tegas “ yang tidak dapat diganggu gugat kecuali atas dasar alasan yang dapat dibenarkan dan merupakan pernyataan tegas yang harus dilaksanakan dengan cara yang sesuai dengan syari’at.

Dikalangan umum kata bai’at mengandung konotasi yang beragam. Ada yang merasa alergi dengan kata bai’at karena dikaitkan dengan gerakan teroris, ada yang “no comment” karena khawatir dicap melawan keyakinan dan lain sebagainya. Apapun asumsinya haruslah dihormati dan menjadi bagian hubungan baik sesama manusia.

Disini saya mencoba mengartikan kata bai’at dengan kalimat yang menurut pemahaman saya lebih memasyarakat yakni dengan kalimat penyerahan diri. Penyerahan diri yang memuat janji setia sebagai bagian syarat dan rukun pelaksanaan penyerahan. Analoginya, jika ada kata penyerahan berarti ada penerimaan. Bahasa umum yang “mungkin” sudah familiar dikalangan masyarakat adalah ijab dan khobul dengan pengucapan janji setia bagi yang menyerahkan dan yang menerima. Singkat kata bai’at adalah janji setia para pihak yang terlibat dalam proses pelaksanaannya.

Dalam kehidupan bersosial budaya dan kemasyarakatan, janji setia ini dapat berupa ikatan kerjasama, perjanjian, dan lain sebagainya yang kesemuanya merupakan suatu kegiatan yang bersipat saling tolong menolong dengan konsekuensi yang ditanggung oleh kedua belah pihak. Konsekuensi ini merupakan akibat dari sesuatu yang telah dikerjakan baik dikerjakan oleh lidah, hati maupun perbuatan. Konsekuensi ini dapat berupa perkara baik maupun perkara buruk. Dan sejogyanyalah apa-apa yang kita perbuat hendaklah sebelumnya sudah dipahami sehingga segala akibat dari perbuatan itu dapat dipertanggung jawabkan, dimata manusia maupun dimata Allah.

Artinya : Hai orang-orang yang beriman ! mengapa kalian mengucapkan sesuatu yang tidak kalian lakukan ? Alangkah murkanya Allah sekiranya kalian mengatakan sesuatu yang tidak kalian kerjakan (QS. As Shaf : 2,3)

Dan dalam pengertian makna, bai’at dapat berarti penyerahan diri dengan syarat dan rukun yang harus dilaksanakan dan dipelihara, yang melahirkan sebab akibat serta hak dan kewajiban masing-masing pihak. Antara pihak satu dengan pihak lainnya mempunyai hak dan kewajiban yang sama dan saling terkait. Banyak hak dan kewajiban yang terlahir dari pelaksanaan penyerahan ini.

Umpamanya, terhadap penyerahan seorang istri kepada seorang suami dalam pelaksanaan akad nikah, Pada konteks hukum akad nikah dapat bermakna menghalalkan hubungan diantara dua hal berbeda, dalam hal ini perempuan dan laki-laki. Namun konteks makna, akad nikah tersebut bermaksud penyerahan diri seorang perempuan kepada seorang laki-laki untuk diselamatkan baik dihadapan manusia maupun dihadapan Tuhan Pencipta Alam melalui perantaraan seorang wali yang disaksikan oleh beberapa orang saksi.
Dengan kegiatan akad nikah tersebut setelah melalui akad nikah maka tentunya akan timbul suatu hak dan kewajiban antara kedua belah pihak. “Si penyerah” setelah melakukan penyerahan tentunya sudah tidak mempunyai hak apapun terhadap sesuatu yang telah diserahkannya.

Yang berlaku terhadap “si penyerah” dalam hal ini istri hanyalah mengikuti segala perintah “ si penerima penyerahan” dalam hal ini si suami sepanjang tidak bertentangan dengan Alquran dan As Sunnah. Apapun yang dilakukan si suami terhadap dirinya (istri) selama tidak bertentangan dengan Alquran dan As Sunah tidaklah ia dipersalahkan, karena memang secara maknawi si istri telah menjadi miliknya. Istri hanya menjaga adab kepada suami (yang menerima penyerahan) dalam hal perkataan, tingkah laku baik dihadapan maupun tidak berhadapan dengan sang suami. Sementara si suamipun senantiasa haruslah menjaga amanah yang telah diberikan oleh wali nikah bilamana ianya tidak ingin didurhakai baik oleh istri maupun dirinya. Demikianlah suatu permisalan terhadap maksud penyerahan (bai’at) itu dalam proses pernikahan.

Dengan penjelasan di atas saya beranggapan semua menjadi jelas sehingga tidak diperlukan penjelasan kembali tentang apa yang dimaksud dengan bai'at.

Sama hal-nya dengan menyerahkan diri seorang istri kepada suami, penyerahan diri manusia sebagai hamba dan umat mengandung iktibar yang sama, mungkin syarat dan rukunnya yang sedikir berbeda.

Bai’at (menyerahkan diri) kepada Allah dan Rasulnya merupakan pelaksanaan berupa penyerahan diri lahir dan bathin kepada Allah dan RasulNya yang mengakibatkan ketaatan akan segala perintah dan laranganNya dan ketaatan akan pelaksanaan Sunnah dan Bukan Sunnah RasulNya. Bai’at dalam makna lebih tertuju kepada Ad Dinnul (masalah kepercayaan didalam agama).

Didalam Islam, banyak dinyatakan tentang pentingnya penyerahan diri, diantaranya :

Barangsiapa yang menyerahkan diri kepada Allah, maka Allah akan mencukupkannya (memeliharanya) ( QS. At Thalaq ;3 )

Hanya kepada Allah hendaklah oang-orang yang beriman menyerahkan diri ( QS. Ali Imran : 160 )


Hanya kepada Allah hendaklah kamu sekalian menyerahkan diri jika kamu sekalian adalah orang-orang yang beriman ( QS. Al Maidah : 23 )

Dalam melakukan sunnah Rasulullah yakni melaksanakan bai’at ini, pada tahap awal, fungsi akal hanya sebatas penghantar kepada tempat menyerahkan diri (Allah dan Rasul). Akal akan menilai keberadaan “wali”. Apakah memang wali tersebut berhak atas pelaksanaan penyerahan diri ini atau tidak. Karena sebagaimana didalam pelaksanaan akad nikah, yang berhak menyelenggarakan acara akad nikah adalah wali (orang tua) perempuan. Apakah ia nantinya akan mewakilkan atau tidak, itu masalah lain. Namun ketiadaan wali dalam acara akad nikah pastilah tidak akan sah adanya. Hal ini diakui baik dari sisi hukum maupun sunnah Rasulllah SAW. Walipun wajib benar adanya. Benar dalam arti ianya memang secara hukum maupun secara agama berhak menikahkan atau menyelenggarakan akad nikah.

Demikian juga halnya dengan penyerahan diri (bai’at) kepada Allah dan RasulNya. Apakah keberadaan wali telah memenuhi keberadaan Allah dan RasulNya (ilmu Allah dan Rasul). Disinilah fungsi akal untuk menilai dengan membandingkan ianya dengan keterangan yang tercantum didalam Alquran dan As Sunnah. Menilai disini bukanlah membenarkan atau menyalahkan tetapi hanya sebatas mencocokan, apakah ilmu dan prilakunya sesuai dengan ilmu dan prilaku Rasul ataukah tidak. Cocokanlah dengan hati maka ianya pasti akan mengarah pada yang sebenarnya.

Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu pergi (berperang) di jalan Allah, maka telitilah …… ( QS. An Nisa’ : 94 )

Akal yang sesuai dengan hati yang menilik kebenaran dan kesungguhan untuk menempatkan seseorang kepada sesuatu / seseorang untuk menentramkan atau memberikan “hal”-nya sesuai dengan kapasitas sesuatu / seseorang tersebut dalam tindak penyelamatan atau penentraman. Setelah menggunakan akal dan pikiran dalam hal menentukan “tempat” maka timbullah fungsi ilmu guna menilik apakah segala perbuatan dan tindak tanduk serta kerja sesuai dengan hukum-hukum serta aturan yang berlaku akan apa-apa yang akan diperbuat oleh yang punya “hal”-nya.

Ilmu-lah yang menjadi alat penyering terhadap segala hal yang akan diperbuat. Apabila “sang ilmu” telah memberikan “rekomendasi “ terhadap kesemua perbuatan itu maka jatuhlah berlakulah perbuatan tersebut dengan syarat dan rukun yang selalu menyertainya.

Apabila telah keimanan yang berdiri pada segala hal maka hanya ketaatan yang mengelilingi segala hal tersebut. Kembali kita permisalkan suatu perumpamaan akan hal ini.

Apabila ada seseorang (katakanlah si x) yang akan melakukan perjalanan kesuatu daerah (antar pulau/negara) maka “si x” dapat menggunakan akalnya untuk memilih kendaraan mana yang akan membawanya kepada pelabuhan /bandara sebagai tempat tujuan sementara. Ia boleh menggunakan taksi atau kendaraan sendiri atau bis atau menumpang kendaraan tetangga atau berjalan kaki atau...... apapun namanya sebagai pilihan awalnya dengan pertimbangan-prrtimbangan tentunya. Setelah dapat memilih satu diantara beberapa pilihan akal tersebut maka ilmulah yang menuntun kemudian. Apabila ia menggunakan taksi atau bis maka taksi atau bis yang benar dan sesuai jurusannya dengan yang dituju.

Apabila ia menggunakan kendaraan sendiri maka haruslah ia bisa mengemudikannya dengan benar dan baik dan tidak melakukan pelanggaran lalu lintas, apabila ia menumpang kendaraan tetangga maka dengan syarat dan rukunnya ia minta tolong menumpang dan seterusnya. Bila sudah dilakukan semua hal tersebut dengan ilmu sebagai “peran utama” maka jadilah ia iman. Pada posisi ini “si x” hanya punya satu pilihan yakni “percaya “ dengan si nakhoda atau si pilot dalam memperjalankannya. Tidak ada bantahan atau usulan, yang ada hanyalah mengikuti. Mengikuti apapun yang dilakukan seorang nakhoda/pilot karena merekalah sebenarnya yang memiliki ilmu pada posisi tersebut. Merekalah yang dipertanyakan pertanggungjawaban terhadap akibatnya. Demikianlah permisalan tersebut.

Penyerahan dimaksud disini bukanlah sebatas ritual semata dan bukan juga sebatas pelaksanaan lahir serta bukanlah sebatas pandangan mata kepala saja tetapi lebih kepada penyerahan hati yang bulat baik pada pengertian kata maupun pada pemahaman makna.

Sebagaimana illustrasi atau pemisalan yang telah dimisalkan diatas, segala yang ada dan tiada, miskin dan kaya, susah dan senang, nikmat dan sengsara, hitam dan putih dan segala.........nya yang pada diripun wajib terserahkan. Jadi bilamana senyum yang terkembang dibibir seseorang tempat menyerahkan diri kita maka senyuman jugalah yang semestinya tercermin pada diri kita. Hal ini merupakan buah dan konsekuensi serta gambaran hati yang telah diserahkan.

Kalau sudah demikian, maka kitapun akan senantiasa memberikan, melakukan hal-hal terbaik yang ada pada diri, karena apapun yang tampak pada diri tempat menyerahkan merupakan gambaran utuh keadaan diri ini. Untuk itulah kita akan selalu mentaati dan mencintai apapun yang diinginkannya.

Ketaaatan merupakan tuntutan iman kepada siapa kita menyerahkan diri. Iman yang dimaksud adalah keyakinan kita terhadap tempat penyerahan dengan didasari oleh tuntunan hati yang terdalam akan makna dan maksud kata hati tersebut.

Ketaatan tersebut akan membawa kepada suatu manfaat berupa kemenangan sebagaimana yang telah dijanjikan Allah didalam Alquran :

Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan RasulNya, maka sesungguhnya ia telah mendapatkan kemenangan yang besar. (QS. Al. Ahzab :71)

Bai’at yang baik dan sempurna didalamnya dihiasi dengan hal-hal yang merupakan syarat dan rukun agar bai’at tersebut sempurna adanya. Kesemuanya merupakan kesatuan dan saling mengait satu dengan yang lainnya. Jadi bilamana tercemar satu maka secara otomatis mencemarkan yang lainnya.

Orang-orang yang memenuhi janji Allah dan tidak merusak perjanjian ( QS. Ar Ra’du : 20 )

Mudah-mudahan tulisan ini dapat memberikan pengertian yang jelas tentang perngertian dan makna bai'at sehingga tidak menjadi suatu persepsi yang kuran baik dilingkungan masyarakat tentang bai'at.

Faktabiru ya ulil abshar la'allakum turhamun


Share This


Like This

No comments :

Post a Comment

Silahkan menyampaikan pertanyaan, komentar dan saran serta masukan untuk menjadi bagian dalam perbaikan