tav

21 January 2012

Pejabat Pengadaan, Antara Idealis dan Loyalis

Predikat tersebut bagiku mungkin tidak asing karena aku pernah pengalaminya semasa Kepres 80 Tahun 2003. Didalam Kepres 80 Tahun 2003, Pejabat Pengadaan diangkat oleh Pejabat Pembuat Komitmen sebagai Pengguna Barang dengan klasifikasi pengadaan dengan nilai HPS sampai dengan Rp. 50 juta. Didalam Perpres 54/2010 Pejabat pengadaan diangkat dan ditetapkan oleh Pengguna Anggaran. Begitu banyak hal yang kontradiksi berlangsung dan mesti disikapi dengan tindakan yang pasti dan terukur.

Idealisme seorang pejabat pengadaan tentu tidak bisa dipisahkan dengan tindakan sejauh mana ia mampu menerapkan idealismenya terhadap lingkungan disekitarnya. Idealisme tentunya mengarah kepada sikap-sikap ideal yang berlangsung dalam hidup dan kehidupan ini. Lingkungan memiliki andil besar dalam membangun karakter seseorang.

Didalam Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 sebagai dasar dan payung hukum pelaksanaan Pengadaan Barang dan jasa pemerintah telah menggariskan tugas pokok seorang Pejabat Pengadaan yakni untuk melaksanakan :
  1. menyusun rencana pemilihan Penyedia Barang/Jasa;
  2. menetapkan Dokumen Pengadaan;
  3. menetapkan besaran nominal Jaminan Penawaran;
  4. mengumumkan pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa diwebsite K/L/D/I masing-masing dan papan pengumuman resmi untuk masyarakat serta menyampaikan ke LPSE untuk diumumkan dalam Portal Pengadaan Nasional;
  5. menilai kualifikasi Penyedia Barang/Jasa melalui prakualifikasi atau pascakualifikasi;
  6. melakukan evaluasi administrasi, teknis dan harga terhadap penawaran yang masuk;
  7. menetapkan Penyedia Barang/Jasa untuk :
    1. Paket Pengadaan Barang/Pekerjaan Konstruksi/Jasa Lainnya yang bernilai paling tinggi Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah);
    2. Paket Pengadaan Jasa Konsultansi yang bernilai paling tinggi Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah)
  8. membuat laporan mengenai proses dan hasil Pengadaan kepada Menteri/Pimpinan Lembaga/Kepala Daerah/ Pimpinan Institusi; dan
  9. memberikan pertanggungjawaban atas pelaksanaan kegiatan Pengadaan Barang/Jasa kepada PA/KPA.
Persyaratan Pejabat Pengadaan sebagaimana Pasal 17 ayat 1 Peraturan Presiden Nomor 54 tahun 2010 adalah :
  1. memiliki integritas, disiplin dan tanggung jawab dalam melaksanakan tugas;
  2. memahami pekerjaan yang akan diadakan;
  3. memahami jenis pekerjaan tertentu yang menjadi tugas Pejabat Pengadaan yang bersangkutan;
  4. memahami isi dokumen, metode dan prosedur Pengadaan;
  5. tidak mempunyai hubungan keluarga dengan Pejabat yang menetapkannya sebagai anggota ULP/Pejabat Pengadaan;
  6. memiliki Sertifikat Keahlian Pengadaan Barang/Jasa sesuai dengan kompetensi yang dipersyaratkan; dan
  7. menandatangani Pakta Integritas.
Pengadaan Langsung sebagaimana tugas dan tanggungjawab seorang Pejabat Pengadaan dapat dilakukan terhadap Pengadaan Barang/Pekerjaan Konstruksi/Jasa Lainnya yang bernilai paling tinggi Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dengan ketentuan sebagai berikut:
  1. merupakan kebutuhan operasional K/L/D/I;
  2. teknologi sederhana;
  3. risiko kecil; dan/atau
  4. dilaksanakan oleh Penyedia Barang/Jasa usaha orang perseorangan dan/atau badan usaha kecil serta koperasi kecil, kecuali untuk paket pekerjaan yang menuntut kompetensi teknis yang tidak dapat dipenuhi oleh Usaha Mikro, Usaha Kecil dan koperasi kecil.
  5. Pengadaan Langsung dilaksanakan berdasarkan harga yang berlaku di pasar kepada Penyedia Barang/Pekerjaan Konstruksi/Jasa Lainnya.
Didalam pelaksanaan Pengadaan langsung, Pejabat Pengadaan sebagai pelaksana pemilihan harus pandai menjaga dan memelihara integritas, disiplin dan tanggung jawab dalam melaksanakan tugas. Karena hal tersebut yang selalu dihadapkan dengan kepentingan yang ada. Ada banyak contoh kasus yang terjadi akibat tidak idealisnya Pejabat Pengadaan terhadap persyaratan kesatu tersebut, dan itu dihadapkan dengan unsur loyalitas kepada atasan dan kepentingan organisasi dalam arti sempit.

Saya pernah membaca begitu banyak tulisan diberbagai blogger akan keluhan terhadap campur tangan atasan didalam pelaksanaan “paket kecil” yang pada akhirnya membuat pejabat pengadaan tersebut mengalah demi kepentingan yang ia sendiri tidak menginginkannya dan/atau keberanian pejabat pengadaan dalam menentang keinginan atasan yang mengakibatkan tersingkirnya dan/atau diblacklist-nya akibat idealisme yang dianutnya.

Pemenuhan persyaratan sebagaimana pasal 17 ayat 1 tidak serta merta dapat terlaksana jika tidak adanya keberanian yang kuat dari dalam diri seorang pejabat pengadaan. Kompleksitas kepentingan dan dilematis penerapan kebijakan selalu mewarnai jalannya pelaksanaan. Ini bukan teori, namun pengalaman yang mungkin bisa dijadikan pelajaran untuk diantisipasi seorang calon pejabat pengadaan.

Ada beberapa hal yang mungkin mendasari peng”gampang”an pelaksanaan pengadaan langsung untuk ditunggangi kepentingan loyalitas diantaranya :
  1. Nilai paket tidak besar sehingga cendrung pelaksanaan dianggap mudah dan auditor cendrung tak seketat pelaksanaan pelelangan umum.
  2. Karena merupakan kebutuhan operasional maka paket-paket dibawah 100 juta terkadang selalu dimunculkan kemudian sejalan dengan “kepentingan” lembaga.
  3. Ada anggapan sebagian pejabat K/L/D/I yang menafsirkan kebutuhan operasional berjalan paralel dengan waktu sehingga tidak bisa diprediksikan.
Disini letak dilematis seorang pejabat pengadaan dalam menyikapi kondisi yang bertentangan dengan kredibilitas dan tanggungjawabnya dalam mentaati aturan main sesungguhnya. Solusi bagi seorang pejabat Pengadaan yang mengalami situasi dilematis di atas :
  • Sikapi dengan tindakan yang bisa mengakomodir kepentingan atasan dg tidak mengabaikan standar yang berlaku. Parameter dan indikatornya mungkin bisa didasari oleh sejauh mana penerapan etika dan prinsip pengadaan dan apakah mengakibatkan kerugian negara;
  • Jika ada ”arahan” yang bertentangan dengan idealisme, integritas, disiplin dan tanggung jawab pejabat pengadaan, maka sikapi dengan membuat perbandingan singkat, cepat dan tepat terhadap tujuan dan lingkup pekerjaan. Jika merubah lingkup dan tujuan, lebih baik katakan tidak, dengan segala konsekuensinya.
  • Tetap memegang prinsip pengadaan sebagai dasar pertimbangan pengambilan keputusan. Hal ini dilatarbelakangi oleh pemahaman aturan yang bervariasi (multitafsir). Jika terjadi kondisi yang stagnant dalam memahami aturan pelaksanaan, jangan sungjan-sungkan untuk meminta pendapat kepada lembaga yang berwenang.
  • Sekali-sekali jangan pernah berpikir laksana lilin, yang siap hancur demi kepentingan orang lain.
Semoga memberi gambaran dan bermanfaat.(FBF)

Share This


Like This