tav

27 January 2012

Gratifikasi



Gratifikasi, antara ketentuan hukum dan budaya.

Menurut UU No.31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Penjelasan Pasal 12 b ayat (1), Gratifikasi adalah Pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya.

Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik.

Pengecualian
Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Pasal 12 C ayat (1) : Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12B ayat (1) tidak berlaku, jika penerima melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Kreteria tindak pidana korupsi dalam hal gratifikasi diatas dikecualikan sesuai Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Pasal 12 C ayat (1) : Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12B ayat (1) tidak berlaku, jika penerima melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Ada beberapa contoh penerimaan gratifikasi, diantaranya yakni:
  1. Seorang pejabat negara menerima “uang terima kasih” dari pemenang tender pemeritah;
  2. Suami/Istri/anak pejabat memperoleh voucher belanja dan tiket tamasya ke luar negeri dari mitra bisnis istrinya/suaminya;
  3. Seorang pejabat yang baru diangkat memperoleh mobil sebagai tanda perkenalan dari pelaku usaha di wilayahnya;
  4. Seorang petugas perijinan memperoleh uang “terima kasih” dari pemohon ijin yang sudah dilayani.
  5. Pemberian bantuan fasilitas kepada pejabat Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif tertentu, seperti: Bantuan Perjalanan + penginapan, Honor-honor yang tinggi kepada pejabat-pejabat walaupun dituangkan dalam SK yang resmi), Memberikan fasilitas Olah Raga (misal, Golf, dll); Memberikan hadiah pada event-event tertentu (misal, bingkisan hari raya, pernikahan, khitanan, dll).
Didalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 pasal 12B tentang tentang Perubahan UU No.31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana korupsi dinyatakan : Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut :
  1. yang nilainya Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi;
  2. yang nilainya kurang dari Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah), pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut umum.
Pasal 12B di atas, secara tegas menerangkan bahwa “Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajibannya atau tugasnya…” ;

Pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagaimana dimaksud pasal 12B, menurut Undang-Undang No. 28 Tahun 1999, Bab II pasal 2, meliputi :
  1. Pejabat Negara pada Lembaga Tertinggi Negara;
  2. Pejabat Negara pada Lembaga Tinggi Negara;
  3. Menteri;
  4. Gubernur;
  5. Hakim;
  6. Pejabat negara yang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; dan
  7. Pejabat lain yang memiliki fungsi strategis dalam kaitannya dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku.
Yang dimaksud dengan “Pejabat negara yang lain” dalam ketentuan ini misalnya Kepala Perwakilan Republik Indonesia di luar negeri yang berkedudukan sebagai Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh, Wakil Gubernur, dan Bupati/Walikotamadya.

Dan yang dimaksud dengan “pejabat lain yang memiliki fungsi strategis” adalah pejabat yang tugas dan wewenangnya didalam melakukan penyelenggaraan negara rawan terhadap praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme, yang meliputi:
  1. Direksi, Komisaris, dan pejabat struktural lainnya pada Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah;
  2. Pimpinan Bank Indonesia dan Pimpinan Badan Penyehatan Perbankan Nasional;
  3. Pimpinan Perguruan Tinggi Negeri;
  4. Pejabat Eselon I dan Pejabat lain yang disamakan di lingkungan sipil, militer, dan Kepolisian Negara Republik Indonesia;
  5. Jaksa;
  6. Penyidik;
  7. Panitera Pengadilan; dan
  8. Pemimpin dan bendaharawan proyek.
Gratifikasi sesungguhnya merupakan delik korupsi yang unik. Tidak seperti lazimnya delik, gratifikasi mensyaratkan unsur tenggat waktu untuk ‘sempurna’ disebut sebagai delik. Pasal gratifikasi memang lebih didasari oleh semangat pengembalian uang negara yang telah dikorupsi ketimbang menjebloskan pelakunya ke sel penjara.

Sayang, semangat mengembalikan uang negara sepertinya terlalu besar sehingga rumusannya tidak jelas. Akibatnya, implementasinya juga tidak optimal seperti yang terjadi sekarang.

Selama ini gratifikasi sudah diatur dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi maupun dalam Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi. Tapi tidak semua jenis gratifikasi dapat diklasifikasikan sebagai tindak pidana korupsi karena dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi telah ditetapkan sejumlah syarat kapan dan bagaimana suatu gratifikasi bisa menjadi delik korupsi, lebih spesifiknya delik suap. Menurut Pasal 12 B ayat (1), gratifikasi dikatakan suap jika berhubungan dengan jabatan dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya pejabat bersangkutan.

Selain menetapkan syarat-syarat pengkategorian, UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juga memberi ‘peluang lolos’ bagi penerima gratifikasi dari ancaman pidana. Syaratnya mudah, cukup melapor. Pasal 12 C menyatakan Pasal 12 B tidak berlaku jika penerima gratifikasi melapor ke KPK. Laporan dimaksud wajib dilaksanakan paling lambat 30 hari kerja terhitung sejak gratifikasi diterima. Setelah dilaporkan, maka berlaku prosedur KPK menentukan status gratifikasi tersebut.

Sebaliknya, berangkat dari kata ‘wajib’ dalam Pasal 12 C ayat (2), jika penerima tidak melaporkan dalam 30 hari, maka KPK seharusnya bisa bertindak. Setidaknya, Pasal 12 B ayat (1) tentang kategori gratifikasi dan beban pembuktian apakah gratifikasi itu suap atau bukan, mulai bisa diterapkan. Dan ketika terbukti suap, maka berlakulah ancaman pidana yang termaktub dalam Pasal 12 B ayat (2). Masalahnya dalam praktiknya sangat jarang KPK menggunakan pasal ini, atau bahkan tidak digunakan sama sekali.

Pasal gratifikasi dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi memang telah memasuki tahun ke-11, namun implementasinya ternyata masih tumpul. Khususnya terkait Pasal 12 C ayat (2). Sampai pada taraf pejabat melaporkan gratifikasi yang mereka terima, pasal ini sebenarnya berjalan. Sebagaimana kerap kali ditayangkan televisi atau ditulis berbagai media cetak dan online, gedung KPK sudah sering dikunjungi pejabat negara yang berniat melaporkan atau lebih tepatnya mengembalikan gratifikasi yang mereka terima. Bahkan terkadang ada sedikit aksi pamer ke media. Sebagian besar bentuknya uang, dan sebagian besar pejabat yang melapor berasal dari gedung parlemen. Uniknya, tren melaporkan gratifikasi biasanya muncul ketika KPK tengah mengusut kasus korupsi tertentu. Biasanya, KPK telah menetapkan seorang tersangka. Dan ketika perkembangan kasus mengarah pada keterlibatan pihak lain di luar tersangka, pejabat yang merasa terlibat langsung panik. Lalu, mengembalikan uang yang pernah mereka terima. Setelah itu, mereka melenggang dengan hanya menyandang status sebagai saksi.

Kiranya penting bagi kita untuk mengamati dan menganalisa proyeksi pengaturan tentang gratifikasi dalam RUU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang hingga kini masih tersendat di pemerintah. Berdasarkan RUU versi pemerintah per Agustus 2008, pasal gratifikasi ternyata masih dipertahankan. Dibandingkan undang-undang yang berlaku sekarang, RUU bahkan memperluas lingkup gratifikasi.

Dalam RUU, gratifikasi diperlakukan seperti halnya tindak pidana suap. Pemberi dan penerima gratifikasi diancam dengan pidana yang sama. Selain itu, lingkupnya semakin luas, karena RUU juga mengatur tentang gratifikasi di bidang olahraga. Gratifikasi untuk mengatur hasil suatu pertandingan olahraga diancam dengan pidana penjara maksimum dua tahun dan denda Rp100 juta.

Ancaman pidana suap dalam gratifikasi, memang sangat diperlukan karena tidak sedikit pegawai negeri sipil atau penyelenggara negara yang menerima janji atau menawarkan janji untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu yang berlawanan dengan kewajibannya atau tugas yang seharus dilakukannya sebagai pegawai negeri sipil atau penyelenggara negara. Namun mengingat budaya kita yang senang mewujudkan rasa syukur dengan “memberi” karena merasa “tertolong” (baca: bukan karena telah ditolong), kemudian ia memberikan sesuatu kepada pegawai/pejabat bersangkutan, dimana pemberian itu tidak dimaksudkan untuk mempengaruhi pegawai negeri bersangkutan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kewajibannya atau tugasnya, maka pegawai tersebut tidak dapat disebut telah menerima “gratifikasi” menurut UU tentang SUAP. 

Share This


Like This