tav

03 April 2015

Petunjuk dalam memilih dan menyikapi pemimpin

Pepatah mengatakan, bahwa sekarang adalah masa lalu, semua sama dan yang berubah adalah bentuk dan warnanya. Apa yang terjadi saat ini adalah bentuk lain yang terjadi masa lalu.

Jika saat ini begitu banyak orang yang berambisi dan bertarung untuk mendapatkan predikat jabatan, kedudukan, dan kekuasaan, itu juga terjadi pada masa lalu. Namun bentuk dan warna saat ini lebih cerah dan keras. Lebih ekstrim hingga meminta dan memaksa. Kedudukan, jabatan dan kekuasaan menjadi obsesi hidup. Berbagai cara akan dilakukan demi mencapai obsesi mereka meski mengabaikan nilai-nilai prinsip kehidupan yang essensi. Memaksa bukan suatu yang tabu, berbohong bukan sesuatu dosa, yang penting tercapai menjadi orang terhormat dan dihargai meski sebatas sandiwara.

Predikat terhormat dan terharga baik formal maupun informal dipandang sebagai sebuah aset dan penghargaan karena berbandinglurus dengan keuntungan, kelebihan, kemudahan, kesenangan dan seabrek keistimewaan lainnya. Maka sangat tidak mengherankan untuk menjadi kepala daerah seperti gubernur, bupati, walikota, anggota dewan dan sebagainya merupakan impian dan obsesi hampir semua orang yang harus didapatkan dan disandang sebelum mati. Kita bisa melihat, dari mata hingga kaki begitu banyak para politikus, purnawirawan, pensiunan, birokrat, sadagar, tokoh masyarakat, artis hingga tukang becak dan lain sebagainya.

Semua berebut mengejar predikat jabatan tanpa mengetahui kapasitas dan kemampuan dirinya. Tak pernah bertanya, layakkah?, mampukah?

Karena sebagian gede dari mereka menganggap predikat jabatan adalah keistimewaan maka semua tak dianggap. Mata dibutakan, telinga ditulikan, akal ditidurkan, hidung ditutupkan bahkan rasa dimatikan jika ada persyaratan yang menghalangi obsesi dan ambisinya. Jika diminta tak diberi maka mereka tak segan akan membeli. Apapun persyaratan administrasi akan mereka lengkapi. Jangankan S1, S2 dan S2 pun dapat dicari. Jangankan Sertifikat Kemampuan, sertifikat keahlianpun dapat mereka miliki, Tinggal beli dan semua akan menjadi. Profesi dan jabatan apa yang tidak bisa dibeli dinegeri dunia ini, mulai dari tukang cuci hingga tukang memberi sanksi, mulai dari tukang parkir hingga tukang mangkir.
Itulah kebanyakan Hakikat Predikat Kepemimpinan saat ini.

Jadi tidak mengherankan jika kita lihat bagaimana seorang yang menjabat predikat birokrasi di pemerintahan yang tidak sesuai dengan kemampuannya, bagaimana seorang politikus yang tak memiliki misi dan program bahkan usulanpun terkadang tidak punya. Bagaimana seorang direktur yang tak memiliki menejerial dan tak mau tahu bagaimana bawahannya bekerja, bagaimana seorang kabag yang kerjanya main game, bagaimana seorang kasie yang bisanya duduk dan mendengar tanpa sepatah katapun mampu diucapkannya, bagaimana dan bagaimana lainnya.

Ada pertanyaan BESAR yang berkaitan dengan semua ini,
Kalau jabatan adalah amanah, mana implementasinya ?
Kalau jabatan adalah kepercayaan, siapa yang mempercayainya ?
Kalau jabatan adalah kemampuan, mana kelakuannya ?


Hakikat Jiwa Kepemimpinan

Ada beberapa hal yang harus dipahami tentang hakikat kepemimpinan.

PERTAMA, kepemimpinan dalam pandangan Al-Quran bukan sekedar kontrak sosial antara sang pemimpin dengan masyarakatnya, tetapi merupakan ikatan perjanjian antara dia dengan Allah swt.
"Dan ingatlah ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat perintah dan larangan (amanat), lalu Ibrahim melaksanakannya dengan baik. Allah berfirman: Sesungguhnya Aku akan menjadikan engkau pemimpin bagi manusia. Ibrahim bertanya: Dan dari keturunanku juga (dijadikan pemimpin)? Allah swt menjawab: Janji (amanat)Ku ini tidak (berhak) diperoleh orang zalim". Q. S. Al-Baqarah (2): 124,

Kepemimpinan adalah amanah, titipan Allah swt, bukan sesuatu yang diminta apalagi dikejar dan diperebutkan. Sebab kepemimpinan melahirkan kekuasaan dan wewenang yang gunanya semata-mata untuk memudahkan dalam menjalankan tanggung jawab melayani rakyat. Semakin tinggi kekuasaan seseorang, hendaknya semakin meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Bukan sebaliknya, digunakan sebagai peluang untuk memperkaya diri, bertindak zalim dan sewenang-wenang. Balasan dan upah seorang pemimpin sesungguhnya hanya dari Allah swt di akhirat kelak, bukan kekayaan dan kemewahan di dunia.
Karena itu pula, Nabi SAW, melarang orang untuk meminta jabatan. "Ya Rasulullah, berilah kepada kami jabatan pada salah satu bagian yang diberikan Allah kepadamu. "Maka jawab Rasulullah saw: "Demi Allah Kami tidak mengangkat seseorang pada suatu jabatan kepada orang yang menginginkan atau ambisi pada jabatan itu".(H. R. Bukhari Muslim).

KEDUA, Pemimpin harus kemerdekaan. Mana mungkin seorang yang terbelenggu (budak) memimpin mereka yang merdeka. Yang menjadi tolak ukur adalah seorang budak sangat disibukkan dengan urusan majikannya. Maka bagaimana mungkin dia mampu menyelesaikan urusan kenegaraan yang tanggungannya lebih berat. Selain itu, seorang budak dipandang hina di mata manusia dan tidak berwibawa sehingga perintahnya akan terabaikan.
Kalau kita perhatikan realita yang ada, tentu kita akan menyimpulkan bahwa budak sudah tidak ada lagi. Maka kontekstualisasi dari kriteria yang kedua ini adalah pemimpin negara tidak boleh dari seorang yang berprofesi rendah atau masih terikat kontrak kerja dengan lembaga tertentu demi menjaga kewibawaan pemimpin.
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” QS. An-Nisa 58

KETIGA, kepemimpinan menuntut keadilan. Keadilan adalah lawan dari penganiayaan, penindasan dan pilih kasih. Keadilan harus dirasakan oleh semua pihak dan golongan. Diantara bentuknya adalah dengan mengambil keputusan yang adil antara dua pihak yang berselisih, mengurus dan melayani semua lapisan masyarakat tanpa memandang agama, etnis, budaya, dan latar belakang. "Wahai Daud, Kami telah menjadikan kamu khalifah di bumi, maka berilah putusan antara manusia dengan hak (adil) dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu".QS. Shad (38): 22

KEEMPAT, Pemimpin harus memiliki kemampuan dan kompetensi. Kepemimpinan merupakan salah satu amanah yang sangat besar dan berat. Sebuah amanah yang dipenuhi dengan godaan yang sangat menggiurkan. Tidak sedikit manusia yang tergelincir karena tidak mampu melaksanakan amanah tersebut dengan baik. Oleh karena itu, Islam mengajarkan bahwa setiap pemimpin haruslah memiliki sifat yang amanah.

Kompetensi atau kemampuan harus menjadi tolak ukur untuk memilih atau mengangkat seorang pemimpin. Jangan memilih orang-orang yang tidak mampu atau tidak memiliki keahlian (kemampuan) untuk menjadi seorang pemimpin. Karena, bukan kepemimpinan yang nanti akan diberikannya, melainkan kehancuran karena kurang atau tidak adanya kemampuan dalam bidang yang dimaksudkan.

Rasulullah saw bersabda: "Apabila amanah telah disia-siakan, maka tunggulah kehancuran’ Sahabat bertanya, ‘Bagaimana menyia-nyiakannya?’ Rasulullah saw menjawab, ‘Apabila suatu urusan diserahkan kepada orang-orang yang bukan ahlinya, maka tunggulah saat kehancurannya". (HR. Imam Bukhari).
Itulah sebahagian dari sebahagian lainnya tentang bagaimana hakikat kepemimpinan yang diajarkan Islam. Jika saat ini ada, maka bersyukurlah kita sebagai masyarakat namun jika tidak ada, maka bersabarlah.

Satu Hadist Rasulullah SAW dalam menyikapi kondisi saat ini.
“Akan ada para pemimpin/penguasa setelahku yang mengikuti petunjuk bukan dengan petunjukku dan menjalankan sunnah namun bukan sunnahku. Dan akan ada di antara mereka orang-orang yang memiliki hati laksana hati SETAN yang bersemayam di dalam raga manusia.” Maka Hudzaifah pun bertanya, “Wahai Rasulullah, apa yang harus kulakukan jika aku menjumpainya?” Beliau menjawab, “Kamu harus tetap mendengar dan taat kepada pemimpin itu, walaupun punggungmu harus dipukul dan hartamu diambil. Tetaplah mendengar dan taat.” (HR. Muslim)

Kalau ada yang mengatakan berat, sesungguhnya akallah yang memberatkannya. Oleh karena itu dudukan akal baru bisa mengimaninya.
Kalau ada yang mengatakan belum tentu, maka yang mengatakan hal tersebut tentulah akalnya bukan imannya. Perlu periksa akalnya sebelum memahami ini.
Dan
Kalau ada yang mengatakan "pemimpin yang bagaimana dulu ... " itu menandakan ngakal mendahului akan, ngelmu mendahului ilmu, sesungguhnya itulah musuh yang nyata yang bersemayam pada diri.

Waspadalah ........ waspadalah.


Share This


Like This

No comments :

Post a Comment

Silahkan menyampaikan pertanyaan, komentar dan saran serta masukan untuk menjadi bagian dalam perbaikan