tav

29 January 2012

Relevansi Inpres No.17/2011 dan Etika Pengadaan

Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 merupakan aturan yang memayungi seluruh pengadaan barang dan jasa pemerintah di lingkungan K/L/D/I yang pembiayaannya baik sebagian atau seluruhnya bersumber dari APBN/APBD. Sebelum diberlakunya Perpres 54/2010 ini telah berlaku sebelumnya Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 yang telah berubah beberapa kali terakhir dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 95 Tahun 2007 merupakan salah satu usaha dalam mengurangi berbagai kekurangan dari berbagai aspek, salah satunya kebocoran keuangan negara berupa praktek KKN.

Dengan diberlakukannya Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 yang telah effektif penerapannya terhitung tahun 2011 terasa semakin membuka ruang dan peluang keterlibatan semua penyedia jasa dan terbukanya ruang informasi yang semakin luas, yang pada akhirnya akan mempersempit ruang gerak KKN.

Latar belakang diterbitkannya perpres ini adalah :
  1. Efisiensi belanja negara dan persaingan sehat melalui Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah belum sepenuhnya terwujud;
  2. Sistem Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah belum mampu mendorong percepatan pelaksanaan Belanja Barang dan Belanja Modal dalam APBN/APBD.
  3. Sistem Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah belum mampu mendorong terjadinya inovasi, tumbuh suburnya ekonomi kreatif serta kemandirian industri dalam negeri;
  4. Masih adanya multi-tafsir serta hal-hal yang belum jelas dalam Keppres80/2003;
  5. Perlunya memperkenalkan aturan, sistem, metoda dan prosedur yang lebih sederhana, namun tetap menjaga koridorgood governance serta masih menjamin terjadinya persaingan yang sehat dan efisiensi;
  6. Perlunya mendorong terwujudnya reward dan punishment yang lebih baik dalam sistem Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
Sejalan dengan hal tersebut maka pada akhir tahun 2011, Presiden selaku pemegang amanat APBN telah mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 17 tahun 2011 tentang instruksi aksi pencegahan dan pemberantasan korupsi tahun 2012.

Di dalam instruksi presiden tersebut terdapat pemetaan dan prosedur dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi dalam 3 prosedur besar yaitu :
  1. Strategi Pencegahan dengan sistim pelayanan publik berbasis teknologi informasi
    • Pembenahan sistim melalui reformasi birokrasi
  2. Strategi Penegakan Hukum, memperkuat koordinasi lembaga penegakan hukum dalam penanganan kasus korupsi
    • Menguatkan dan konsistensi sanksi hukum dan administrasi terhadap penegak hukum
  3. Strategi peraturan perundang-undangan
    • Harmonisasi dan sinkronisasi peraturan perundang-undangan dan penyusunan peraturan perundang-undangan dalam rangka penegakan hukum yang modern dalam sistim peradilan pidana.
  4. Strategi kerjasama internasional dan penyelamatan asset.
    • Memastikan lembaga pelaksana central of autority untuk tipikor
    • Memastikan pembentukan lembaga pengelolaan asset hasil tipikor dengan tujuan untuk mendukung pasca penegakan hukum, proses transparansi pengelolaan asset.
    • Pelatihan dan bantuan teknis dalam rangka penyelamatan asset hasil korupsi.
    • Pembentukan task force penyelamatan asset
  5. Strategi pendidikan dan budaya anti korupsi;
    • Kampaye anti korupsi
    • Pengembangan nilai-nilai anti korupsi dalam berbagai aktifitas di sekolah dan lingkup sosial untuk menciptakan karakter bangsa yang berintegritas.
  6. Strategi mekanisme pelaporan;
    • Memperluas dan mempermudah akses informasi berbagai upaya dalam rangka proses pencegahan dan pemberantasan korupsi dari masing-masing K/L.
Secara general inpres nomor 17 tahun 2011 merupakan penegasan untuk yang kesekian kalinya dalam hal perang terhadap korupsi. Hal yang sama juga dilakukan pada aturan lain, diantaranya :
  1. Undang-Undang Nomor 28 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme;
  2. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
  3. Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan Dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
  4. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
  5. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
  6. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2006 Tentang Pengesahan United Natlons Convention Against Corruption, 2003 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi, 2003)
  7. Undang-Undang No. 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Publik.
Dan segudang aturan serta peraturan lainnya yang langsung maupun tidak langsung berisikan pencegahan akan tindakan korupsi, kolusi dan nepotisme. Masihkah penambahan aturan tentang korupi dan kroninya untuk memberantas korupsi ?

Protap Inpres Nomor 17 tahun 2011 dalam pencehagan tindak pidana korupsi :
1. Strategi Pencegahan dengan sistim pelayanan publik berbasis teknologi informasi.
Protap pertama dimulai dengan MEMBENAHAN SISTIM MELALUI REFORMASI BIROKRASI. Protap ini mengindikasikan memang terjadi kesalahan pada tatanan sistim pemerintahan yang dijalani oleh aparat pemerintah. Aturan yang dibuat berulang-ulang juga bisa mengindikasikan bahwa aturan tersebut tidak effektif dan/atau pelaksanaan aturan tersebut tidak berjalan sebagaimana mestinya bahkan mungkin bisa disebut gagal. Jika dilihat dari segi bahasa, birokrasi terdiri dari dua kata yaitu biro yang artinya meja dan krasi yang artinya kekuasaan. Birokrasi memiliki dua elemen utama yang dapat membentuk pengertian, yaitu peraturan atau norma formal dan hirarki. Jadi, dapat dikatakan pengertian birokrasi adalah kekuasaan yang bersifat formal yang didasarkan pada peraturan atau undang-undang dan prinsip-prinsip ideal bekerjanya suatu organisasi. Berdasarkan aturan perundang-undangan sebagaimana diatas, jika dijalankan maka sedikit sekali kemungkinan penyalahgunaan birokrasi dalam pelayanan publik oleh aparatur pemerintahan. Di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan Dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, masyarakat luas diberi ruang untuk mengawasi dalam pencegahan tindak pidana korupsi sebagaimana pasal 2 : “ Setiap orang, Organisasi Masyarakat, atau Lembaga Swadaya Masyarakat berhak mencari, memperoleh dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi serta menyampaikan saran dan pendapat kepada penegak hukum dan atau Komisi mengenai perkara tindak pidana korupsi”. Yang menjadi pertanyaan, siapakah yang gagal dalam penerapan aturan? Aparatkah atau masyarakatkah?

2. Strategi Penegakan Hukum, memperkuat koordinasi lembaga penegakan hukum dalam penanganan kasus korupsi.
Protap kedua dengan MENGUATKAN DAN KONSISTENSI SANKSI HUKUM DAN ADMINISTRASI TERHADAP PENEGAK HUKUM.

Protap ini juga mengindikasikan selama ini masih berlaku hukum “bukan untuk aparatur hukum”. Kecendrungan untuk memanipulasi data dan fakta dalam proses ketetanagaraan lebih banyak diakibatkan oleh mereka yang berwenang dalam hal penyidikan, penindakan dan penuntutan.

Sejak ditelorkannya Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 atau dalam kurun waktu 10 tahun sebelum Instruksi Presiden Nomor 17 dikeluarkan sesungguhnya acaman bagi penegak hukum yang menyelewengkan aturan dan kewenangannya telah diundangkan.

Di dalam Pasal 12 Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) bagi :
  1. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya;
  2. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikansebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya;
  3. hakim yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili;
  4. seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan ditentukan menjadi advokat untuk menghadiri sidang pengadilan, menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan, berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili;
  5. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri;
  6. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas, meminta, menerima, atau memotong pembayaran kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara yang lain atau kepada kas umum, seolah-olah pegawai negeri atau penyelenggara negara yang lain atau kas umum tersebut mempunyai utang kepadanya, padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan utang;
  7. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas, meminta atau menerima pekerjaan, atau penyerahan barang, seolah-olah merupakan utang kepada dirinya, padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan utang;
  8. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas, telah menggunakan tanah negara yang di atasnya terdapat hak pakai, seolah-olah sesuai dengan peraturan perundangundangan, telah merugikan orang yang berhak, padahal diketahuinya bahwa perbuatan tersebut bertentangan dengan peraturan perundangundangan;
  9. pegawai negeri atau penyelenggara negara baik langsung maupun tidak langsung dengan sengaja turut serta dalam pemborongan, pengadaan, atau persewaan, yang pada saat dilakukan perbuatan, untuk seluruh atau sebagian ditugaskan untuk mengurus atau mengawasinya.
Dan pada pasal 27 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dinyatakan bahwa dalam hal ditemukan tindak pidana korupsi yang sulit pembuktiannya, maka dapat dibentuk tim gabungan di bawah KOORDINASI Jaksa Agung.

3. Strategi peraturan perundang-undangan.
Pada protap ketiga Inpres 17/2011 MENITIKBERATKAN PADA HARMONISASI DAN SINKRONISASI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DAN PENYUSUNAN PERUNDANG-UNDANGAN DALAM RANGKA PENEGAKAN HUKUM YANG MODERN DALAM SISTIM PERADILAN PIDANA.

4. Strategi kerjasama internasional dan penyelamatan asset. 
Protap keempat konsen pada lembaga pelaksana central of autority untuk tipikor, memastikan pembentukan lembaga pengelolaan asset hasil tipikor dengan tujuan untuk mendukung pasca penegakan hukum, proses transparansi pengelolaan asset, pelatihan dan bantuan teknis dalam rangka penyelamatan asset hasil korupsi, dan pembentukan task force penyelamatan asset

5. Strategi pendidikan dan budaya anti korupsi; 
Protap kelima berupa KAMPAYE ANTI KORUPSI DAN PENGEMBANGAN NILAI-NILAI ANTI KORUPSI DALAM BERBAGAI AKTIFITAS DI SEKOLAH DAN LINGKUP SOSIAL UNTUK MENCIPTAKAN KARAKTER BANGSA YANG BERINTEGRITAS. Pada protap kelima ini terbentuk satu harapan baru dalam kurun waktu yang cukup panjang dalam mengregenerasikan aparatur yang berkualitas dan berdedikasi. Ada secercah harapan yang tersirat dalam implementasi protap ini. Harapan akan menelorkan generasi baru yang berkualitas antikorupsi harus dibarengi dengan pembelajaran nyata dalam hidup dan kehidupan pendidikan baik formal maupun non formal. Yang tak kalah penting dalam proses pendidikan antikorupsi adalah kebijakan standart pendidikan yang tidakmengabaikan nilai-nilai etika di atas nilai-nilai retorika.

6. Strategi mekanisme pelaporan; 
Protap keenam adalah ADALAH MEMPERLUAS DAN MEMPERMUDAH AKSES INFORMASI BERBAGAI UPAYA DALAM RANGKA PROSES PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN KORUPSI DARI MASING-MASING K/L.

Apapun jenis dan lingkup suatu aturan semua harus dilandasi pada substansi hukum (legal substance) itu sendiri yaitu norma dan etika, bukan sekedar pada struktur hukum (legal structure), dan budaya hukum (legal culture). Dan seharusnya Etika tersebut bersipat fleksible dan lestari.

Kembali pada paragrap awal tulisan ini tentang Peraturan Presiden tentang pengadaan Barang dan Jasa pemerintah. Tujuan dan maksud Inpres nomor 17/2011 hampir sebagian besar bermula dari penerapan aturan dan implementasi Perpres 54/2010.

Bagi para pelaksana Perpres 54/2010, seyogjanya dimulai dari pasal 6 tentang Etika Pengadaan sebelummemahami Prinsipdan batang tubuh peraturan tersebut agar apa yang di”kwatirkan” inpres nomor17/2011 bisa diantisipasi dengan mengedepankan etika. Para pihak yang terkait dalam pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa harus mematuhi etika sebagai berikut :
  1. melaksanakan tugas secara tertib, disertai rasa tanggung jawab untuk mencapai sasaran, kelancaran dan ketepatan tercapainya tujuan Pengadaan Barang/Jasa;
  2. bekerja secara profesional dan mandiri, serta menjaga kerahasiaan Dokumen Pengadaan Barang/Jasa yang menurut sifatnya harus dirahasiakan untuk mencegah terjadinya penyimpangan dalam Pengadaan Barang/Jasa;
  3. tidak saling mempengaruhi baik langsung maupun tidak langsung yang berakibat terjadinya persaingan tidak sehat;
  4. menerima dan bertanggung jawab atas segala keputusan yang ditetapkan sesuai dengan kesepakatan tertulis para pihak;
  5. menghindari dan mencegah terjadinya pertentangan kepentingan para pihak yang terkait, baik secara langsung maupun tidak langsung dalam proses Pengadaan Barang/Jasa;
  6. menghindari dan mencegah terjadinya pemborosan dan kebocoran keuangan negara dalam Pengadaan Barang/Jasa;
  7. menghindari dan mencegah penyalahgunaan wewenang dan/atau kolusi dengan tujuan untuk keuntungan pribadi, golongan atau pihak lain yang secara langsung atau tidak langsung merugikan negara; dan
  8. tidak menerima, tidak menawarkan atau tidak menjanjikan untuk memberi atau menerima hadiah, imbalan, komisi, rabat dan berupa apa saja dari atau kepada siapapun yang diketahui atau patut diduga berkaitan dengan Pengadaan Barang/Jasa.
  • Dengan Etika seseorang tidak akan melakukan kecurangan walau ianya tidak diawasi;
  • Dengan Etika seseorang merasa malu untuk melakukan kesalahan dan kecurangan;
  • Dengan Etika seseorang berbeda dengan hewan piaraan;
  • Dengan Etika seseorang diberikan rahmat dan syafaat.
  • Dengan Etika seseorang selamat dan menyelamatkan.
Semoga bermanfaat dan menjadi iktibar.
.

Share This


Like This