tav

13 April 2013

Dissenting opinion di Kelompok Kerja


Didalam Keputusan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 yang terakhir diubah dengan Peraturan Presiden No. 70 Tahun 2012 bagian pertama Pasal 7 ayat (4) Perangkat organisasi ULP ditetapkan sesuai kebutuhan yang paling kurang terdiri atas kepala, sekretariat, staf pendukung dan kelompok kerja.

Tugas Kelompok Kerja sebagaimana Pasal 15 ayat (1) adalah melakukan proses Pemilihan Penyedia Barang/Jasa dalam Unit Layanan Pengadaan. Kelompok Kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat dibantu oleh tim atau tenaga ahli pemberi penjelasan teknis (aanwijzer).

Dan ini merupakan tugas yang sangat penting dan menjadi bagian inti didalam proses pengadaan barang dan jasa sehingga jika diperlukan dapat dibantu oleh tim lain atau tenaga ahli dalam pelaksanaan kegiatan yang menjadi tugasnya.

Anggota Kelompok Kerja ULP memiliki persyaratan yang cukup berat sebagaimana pasal 17 Perpres 54/2010 memenuhi persyaratan sebagai berikut :
  1. memiliki integritas, disiplin dan tanggung jawab dalam melaksanakan tugas;
  2. memahami pekerjaan yang akan diadakan;
  3. memahami jenis pekerjaan tertentu yang menjadi tugas ULP/Pejabat Pengadaan yang bersangkutan;
  4. memahami isi dokumen, metode dan prosedur Pengadaan;
  5. tidak mempunyai hubungan keluarga dengan Pejabat yang menetapkannya sebagai anggota ULP/Pejabat Pengadaan;
  6. memiliki Sertifikat Keahlian Pengadaan Barang/Jasa sesuai dengan kompetensi yang dipersyaratkan; dan
  7. menandatangani Pakta Integritas.

Di dalam Peraturan Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah Nomor 5 Tahun 2010 tentang Unit Layanan Pengadaan pasal 12 angka 2, Dalam melaksanakan tugasnya Ketua Pokja dan setiap anggota pokja ULP mempunyai kewenangan yang sama dalam pengambilan keputusan yang ditetapkan berdasarkan suara terbanyak.

Anggota Kelompok Kerja berjumlah gasal beranggotakan paling kurang 3 (tiga) orang dan dapat ditambah sesuai dengan kompleksitas pekerjaan. Dalam pelaksanaan tugasnya, Kelompok Kerja dapat dibantu oleh tim atau tenaga ahli pemberi penjelasan teknis (aanwijzer).Sungguh suatu tugas yang sangat tidak ringan yang dipikul kelompok kerja sehingga dalam pelaksanaan tugasnyapun dapat meminta bantuan tim atau tenaga ahli.

Jadi sangat dimengerti bilamana ada seseorang yang sangat tidak berminat untuk menjadi bagian dari kelompok kerja mengingat kemampuan dan tanggungjawsab yang sangat berat yang harus dipikul walaupun dengan cara bersama-sama. Dan sangat mengherankan jika ada yang sampai “meminta” untuk dilibatkan didalam kelompok kerja. Meminta agar terlibat didalam pokja bukan suatu hal yang rahasia dikalangan pegawai K/L/D/I, bahkan ada yang berani membayar.

Jika kita kembali menelaah persyaratan sebagaimana pasal 17 Perpres 54/2010, pada angka 1 saja yakni memiliki integritas, disiplin dan tanggung jawab dalam melaksanakan tugas, bisa dibilang ibarat mencari jarum di dalam tumpukan jerami. Ada namun susah. Terlebih didalam lingkungan birokrasi. Jika mengaca kepada persyaratan tersebut, maka dapat disimpulkan hanya orang yang bisa menguasai napsu dan mengetahui jati diri saja yang dapat terlibat di dalam pokja. Integritas dan Kredibilitas, kata yang sering kita ucapkan namun jarang kita temukan.

Yang lebih menyedihkan, terkadang PA/KPA berikut Kepala ULP sebagai unsur yang menetapkan dan mengusulkan anggota pokja selalu tidak menitikberatkan pada tertibnya persyaratan sehingga terkadang bahkan sering persyaratan ke-6 yang selalu didahulukan diatas persyaratan 1 sampai 5. Terlebih PA disebagian besar K/L/D/I merupakan jabatan politis. Dengan memperhatikan historikal dan persyaratan di atas, sangat bisa dimaklumi jika dalam pengambilan keputusan di Kelompok Kerja sering terjadi debat sengit atau tegang urat leher, Bisa jadi karena pendapat yang berbeda terhadap pemahaman, bisa juga disebabkan karena adanya tendensi personal hingga cendrung mengakibatkan adanya kubu-kubu di internal pokja.

Menyikapi hal tersebut ada baiknya kita kembali kepada ketentuan yang berlaku baik terhadap prinsip-prinsip pengadaan, mekanisme pelaksanaan maupun unsur persyaratan tambahan sebagaimana yang tertuang didalam dokumen pengadaan.

Jika juga tidak ada kata sepakat maka mungkin disebabkan adanya tendensi dan kurangnya pemahaman terhadap hal-hal substansia dalam proses maka dilakukan dengan cara pengambilan keputusan dengan suara terbanyak atau voting. Pengambilan keputusan dengan suara terbanyak didalam pokja diatur didalam Perka Nomor 5 tahun 2012 tentang Unit Layanan Pengadaan.Pengambilan keputusan dengan suara terbanyak menuntut kedewasaan seseorang dalam mengambil sikap dan mengikuti ketentuan yang berlaku. Tidak jarang yang benar terkadang kalah dan yang salah terkadang menang didalam voting. Disinilah letak kedewasaan para pihak dalam bersikap. Terlepas apapun putusannya wajib dihormati sebagai bagian dari demokrasi dan pengakuan perbedaan pendapat terlepas latar belakang pendapat benar atau salah.

Putusan yang diambil dengan cara voting wajib diakui para pihak dengan cara tetap menandatangani keputusan, karena keputusan kelompok kerja bersipat kolektif kolegial. Jadi tidak ada alasan bagi yang tidak setuju tidak menandatangani keputusan.

Didalam aturan pengambilan keputusan kelompok kerja dapat menggunakan Dissenting Opinion sebagai bagian dari proses demokrasi dengan didahului oleh Berita Acara Rapat. Setiap unsur di dalam pokja diminta pendapatnya terhadap permasalahan berikut alasan yang menguatkan pendapatnya dan dicatat sebagai resume rapat yang merupakan bagian yang tak terpisahkan dari keputusan.

Dissenting Opinion tidak mengikat dan berpengaruh apapun terhadap putusan. Akan tetapi, Dissenting Opinion lebih kepada penghargaan terhadap pendapat seseorang tentang perkara. Dissenting opinion adalah pendapat yang berbeda dengan apa yang diputuskan dan dikemukakan oleh satu atau lebih yang memutus permasalahan dan merupakan satu kesatuan dengan putusan itu karena seseorang/atau lebih kalah suara atau merupakan suara minoritas dalam sebuah rapat pengambilan keputusan dengan suara terbanyak

Dalam pengambilan putusan akhir, tidak tertutup kemungkinan terjadinya perbedaan pendapat di antara pengambil keputusan. Jika terjadi perbedaan pendapat, maka putusan diambil berdasar suara terbanyak dan tidak akan terjadi lagi adanya putusan yang tidak ditandatangani.

Pengadan yang kridibel, sejahterakan bangsa


Share This


Like This

2 comments :

  1. Sepertinya ini pilihan yang bisa diterapkan pak. Saya sangat setuju. Memang terkadang banyak Berita Acara yang jika diperhatikan tidak semua mau menandatangani. Saya juga tidak tahu alasannya. Yang pasti hal ini sering terjadi. Jadi alternatif ini menurut saya layak untuk dicoba.

    terima kasih atas masukannya

    ReplyDelete

Silahkan menyampaikan pertanyaan, komentar dan saran serta masukan untuk menjadi bagian dalam perbaikan