tav

22 June 2013

Diam, menatap asap



Aku sempat panik sebentar tatkala aku mencium bau asap masuk kamarku. Itu berkisar jam 02.35 wib. Awalnya aku cuek bebek tapi kelamaan ada kecurigaan bau terbakar. Cek dan ricekpun aku lakukan, namun aku tak menemukan kebakaran ataupun hal yang mencurigakan malam itu.


Namun bau terbakar masih kuat terasa hingga aku terbatuk beberapa kali. Karena khawatir, aku menunda melanjutkan tidurku dengan keluar rumah. Saat membuka pintu, aku baru tersadar ada asap yang pekat. Aku curiga ada yang membakar sampah tengah malam. Cek dan ricekku tak membuahkan hasil, karena aku tak menemukan ada api yang membakar.Paginya aku baru tahu bahwa bau terbakar dan asap yang masuk ke kamarku tanpa ijin itu bukan dari Batam namun dari Pekanbaru. Fenomena lama yang menjadi kebiasaan yang tak terperbaiki.

Bau sangit kelalatu dan asap kini memenuhi udara Batam dan sekitarnya. Asap itu timbul akibat kebakaran lahan yang terus berlangsung di daerah Sumatera. “Udara benar-benar kotor, ke mana-mana hidung dan mulut harus ditutup dengan masker”. Kendaraan harus menyalakan lampu. Para pengemudi juga harus membunyikan klakson demi beringsut menghindari tabrakan. “Itulah derita warga akibat bencana asap,”.

Pemerintah telah melarang penduduk membakar lahan, tapi kebakaran terus berlanjut. Pemerintah juga telah mengupayakan pemadaman kebakaran dengan mengurangi titik-titik api yang banyak tersebar di wilayah itu. Pemerintah juga mengerahkan regu pemadam manggala agni, namun usaha itu tak mampu sepenuhnya mengatasi kebakaran di area yang luas itu.

Kebakaran hutan dan lahan yang rutin terjadi di Indonesia, terutama di Sumatera sudah menjadi bencana tahunan yang harus serius ditangani. Sebab kabut asap dampak dari Kebakaran hutan dan lahan mengganggu lingkungan, kesehatan, transportasi, pendidikan, serta menjadi bencana bagi perekonomian.

Nih asap cerdas juga, bukannya ngumpul di Indonesia sebagai negara “penghasil” asap, malah mengekspor diri ke Singapura dan Malaysia. Ndak pakai paspor dan visa lagi.

Ada “kebanggaan” yang saling bertentangan tentang hutan di Indonesia.
Pertama, kita didaulat menjadi negara dengan hutan huja terluas di dunia. Kedua, kita juga didaulat sebagai negara yang paling sering membakar hutannya. Kita exploitasi hutan dan sumberdayanya secara besar-besaran dengan regulasi yang kuat hanya karena konstitusi menyatakan kekayaan alam harusnya digunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan dan kesejahteraan rakyat.

Kesejahteraan rakya yang mana?

Masalah sumberdaya alam memang selalunya menjadi bagian penting dan prioritas utama, karena kita diberikan sumber daya alam yang MELIMPAH. Kalimat mensejahterakan rakyat menjadi kalimat pamungkas untuk mendapatkan rekomendsi dari pemerintah dalam mengekploitasi sumberdaya alam walaupun tanpa implementasi nyata dalam pelestariannya.

Satu contoh, penebangan hutan primer cukup diganti dengan reboisasi. Bisa dibayangkan bahwa hutan primer dengan tutupan 100 % sudah hidup puluhan tahun hanya diganti dengan reboisasi yang hidup matinyapun tak pernah dipedulikan. Dana Reboisasi hanya sebatas kompensasi bagi pemberi regulasi bukan bagi hutan yang dihabisi. Dimana sejahterakan rakyat ?

Pemerintah bukannya tidak tahu konsekuensi atas semua ini, bukannya tidak tahu akan untung ruginya namun sebatas penerapan diatas kertas yang ditandatangani. Sementra sebatas kertas rekening yang tak tertandatangani terbang bebas di alam “kesejahteran rakyat”.

Banyaknya masyarakat peduli lingkungan dan LSM yang peduli ikut lingkungan dan membela alam semua percuma bila tidak disertai kepentingan mereka yang duduk dibangku pemerintah untuk menjadikan alam sebagai prioritas.

Memang tanpa keseriusan semua pihak baik dalam dan luar negeri, kita semua hanya bisa menatap asap yang gelap.

Aku hanya mau bilang :
Hablumminallah,
Hamblumminannas wa,
Hamblumminal alam


Share This


Like This

No comments :

Post a Comment

Silahkan menyampaikan pertanyaan, komentar dan saran serta masukan untuk menjadi bagian dalam perbaikan