tav

07 July 2013

Ramadhan


Gemanya membahana seantero jagat raya. Bahkan mungkin dialam lainpun turut bergembira karena Ramadhan adalah waktunya “ujian nasional” yang disetting sedemikian rupa agar pelaksanaannya dapat effektif sesuai dengan kadar yang diinginkan Tuhan Yang Kuasa.

Memang sudah sepantasnya kegembiraan memasuk Ramadhan ditunjukan dengan rasa suka cinta, rasa senang dan bahagia, rasa optimis dan yakin serta rasa cinta walau didalam pelaksanaan lebih kepada “ rasa derita”.


Derita dalam sudut pandang lahiriah, mesti menahan lapar dan dahaga, menjaga lisan dan pandangan, dan yang lebih utama menahan aktivitas napsu kepada indikasi perbuatan yang tidak disukai Tuhan Yang Maha Kuat. Ucapan Alhamdulillah sebagai bukti kegembiraan bil lisan serta senyum sebagai bentuk senang terhias indah menerangi wajah-wajah optimis kaum Muslim karena selangkah lagi, Insya Allah, Ramadhan akan hadir ditengah hidup dan kehidupan umat manusia.

Kegembiraan menyambut Ramadhan bukan tanpa alasan karena banyak dasar-dasar yang menunjukan mengapa Ramadhan harus disambut dengan rasa gembira dan bahagia, diantaranya :
  1. Barangsiapa yang bergembira datangnya bulan ramadhan, diharamkan Allah jasadnya menyentuh api neraka. (H.R. al-Nasa’i).
  2. Kalaulah seandainya umatku tahu keutamaan bulan puasa, tentu mereka akan meminta supaya bulan yang ada dijadikan puasa selamanya… (H.R. Ibn Mazah).
  3. dan lainnya
Yang perlu dipahami dalam konteks gembira disini bukan dalam bentuk hura-hura. Lalu gembira dalam bentuk yang bagaimana dalam menyikapi bulan Penuh Hikmah ini.

Pelaksanaan ibadah puasa memang merupakan pelaksanaan ibadah yang penuh kerahasian sehingga Allah sendiri yang menentukan pahalanya. Berhasil tidaknya seseorang mengimplementasikan nilai-nilai puasa (ramadhan) hanya Allah dan merekalah yang mengetahuinya. Walau dilaksanakan setiap tahun namun tetap saja kita tidak dapat secara utuh melaksanakan nilai-nilai substansi dari puasa itu sendiri. Bahkan tidak jarang setelah Ramadhan berakhir kita bertambah menuruti hawa nafsu yang tidak baik.

Momentum Ramadhan adalah momentum dimana seorang muslim dapat memasuki “dunia ketaqwaan” dengan melaksanakan ibadah selama Ramadhan, karena tujuan puasa ramadhan adalah membentuk ketaqwaan sejati.

Disinilah letak “kegembiraan” yang mesti dipahami. Kegembiraan terhadap janji Allah kepada manusia di bulan Ramadhan inilah yang mesti disambut dengan rasa gembira dalam bentuk “berlomba-lomba” dalam ibadah demi mendapatkan nilai ketaqwaan. Ibadah yang bersinergi antara habblumminallah dan hablumminannas.

Lalu apakah di bulan lain tidak bisa mendapatkan ketaqwaan?
Jawabannya bisa, namun pada bulan Ramadhan ini lebih diutamakan karena pada ramadhan-lah Allah membuka pintu ruang “ketaqwaan” bagi seluruh umat manusia.

Jadi akan sangat kontradiktif kalau kegembiraan yang dimaksud kita implementasikan dengan hura-hura yang bersipat duniawi semata.

Dengan melaksanakan perintah dan menjauhi larangan semata, tetapi tidak memiliki kepekaan kemanusiaan dan hanya untuk meningkatkan status sosial tanpa memperdulikan sekitarnya yang terpuruk oleh kemiskinan akan menjadi sandungan dan perkaran yang akan menghancurkan bilai ketaqwaan Ramadhan.
Disinilah sebenarnya posisi puasa yang ingin disampaikan melalui harmonisasi nilai kemanusiaan dan ke Ilahian sekaligus yang diharapkan tumbuh dan berkembang menyatu keduanya dalam diri sehingga menciptakan manusia yang benar-benar sempurna dalam artian terpenuhinya kebutuhan material kemanusiaan dan nilai pritual ke Tuhanan sekaligus sebagai karakter dari tujuan ketakwaan yang ditawarkan dalam pelaksanaan ibadah puasa.

Walaupun pintu ruang ketaqwaan dibuka lebar pada Ramadhan, bukan berarti hal tersebut dapat dilakukan secara mudah dan sederhana. Banyak yang tidak mampu mengimplementasikan nilai-nilai Ramadhan dalam kehidupan berprilaku sehingga tidak mengherankan kalau puasa dalam perspektif hadits disebut-sebut sebagai ibadah yang akan mengantarkan pelaksananya kepada kebaikan sesungguhnya, tetapi juga sebaliknya harus disadari bahwa tidak sedikit juga kita diingatkan bahwa dalam pelaksanannya banyak yang gagal hanya mendapatkan lapar dan haus semata (H.R. al-Nasa’i dan Ibn Mazah), karena kita tidak mampu menangkap pesan moral apa yang terkandung didalam, dan tentunya jaminan Tuhan akan terbebas dari api neraka tidak akan pernah didapatkan.

Selain itu harus dipertegas salah satu aspek terpenting lainnya dalam puasa adalah menahan diri baik dari segala tindakan yang dapat menghilangkan nilai luhur puasa terlebih lagi membatalkannya. Sebagai indikasi bahwa orang yang berpuasa harus mampu menjaga diri dari segala bentuk prilaku yang tercela sebagai persyaratan utama dalam upaya memfungsikan puasa sebagai media menyemai benih kemuliaan dan mengikis habis segala bentuk dosa dalam kehidupan.

Nampaknya inilah yang dimaksud dengan bergembira dari kutipan hadits di atas bahwa kita harus memanfaatkan kesempatan tersebut secara baik dengan melaksanakannya secara totalitas kemampuan yang dimiliki. Karena puasa tersebut hanya dapat dilakukan dengan adanya semangat yang sungguh dibuktikan ketukan perintah puasa melalui hati orang beriman sebagai bukti hanya orang berimanlah yang dapat melaksanakannya secara baik dan yang pantas bergembira akan datangnya puasa tersebut.

Tanda kegembiraan itu sebenarnya dapat dilihat pada saat berbuka setelah satu harian penuh menahan segala dahaga tetapi berbuka dalam keadaan tetap terkontrol dengan baik tidak memperturutkan hawa nafsu dan memakan sesuatu setelah diperbolehkan menunjukkan puasa juga mengajarkan kedisiplinan bagi akan pentingnya aturan sebagai upaya menata kehidupan secara baik dan terarah.

Namun yang perlu menjadi catatan penting adalah, kegembiraan dan kebahagiaan yang pada hakikatnya adalah suasana batin manusia bila diungkapkan dalam tindakan lahir tentu jangan sampai bertolak belakang dengan hakikat tersebut. Kalau memang kebahagiaan menyambut Ramadhan itu muncul dari keimanan terhadap janji Allah Subhanahu Wata’ala dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassalam maka ungkapkanlah kegembiraan itu dengan tindakan-tindakan yang sesuai dengan tuntunan Allah dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassalam. Karena itu, mari wujudkan kegembiraan itu dalam ketaatan kepada Allah Subhanahu Wata’ala dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassalam. Hindarilah mengekspresikan kegembiraan menyambut Ramadhan dengan berbuat kemaksiatan dan menambah-nambah amalan yang tidak disyari'atkan.

Perlu diingat dan diyakini dengan seyakin-yakinnya terhadap Janji Allah bahwa apa yang dijanjikan oleh Allah Subhanahu Wata’ala di bulan Ramadhan tidak akan bisa diraih dengan berbuat kemaksiatan. Hanya keta'atanlah yang bisa menjadi tangga memasuki rahmat Allah Subhanahu Wata’ala.

"...apa yang ada di sisi Allah Subhanahu Wata’ala tak akan bisa diraih melainkan dengan menta'atiNya."HR.Imam al-Thabrany


- Faktabiru ya ulil abshar la'allakum turhamun -


Share This


Like This

No comments :

Post a Comment

Silahkan menyampaikan pertanyaan, komentar dan saran serta masukan untuk menjadi bagian dalam perbaikan