tav

09 February 2015

Kaya dan Merasa Kaya

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kaya berarti memiliki banyak harta (uang) dan sebagainya.

Kaya. Dalam terminologi umum dan makna bahasa sehari-hari diartikan sebagai orang yang memiliki kapasitas harta yang banyak dan seba kecukupan kebutuhan materi-nya. Dan makna miskin diartikan sebagai orang yang serba kekurangan dalam hal materi.

Mereka yang dianggap kaya oleh sebutan dalam kesehariannya cendrung berpenampilan resmi dan intelek yang menunjukan derajat dan martabat, selalu dihormati walau terkadang lebih cocok ditakuti, dibandingkan dengan mereka yang dianggap sebutan miskin. Kecendrungan ini sangat nyata tergambar disetiap sisi kehidupan. Saat mereka berjalan, saat mereka makan dan terlebih nyata saat mereka berbicara. Hal ini bisa dilihat pada ekpresi orang-orang yang diajak bicara sama si kaya. Dan ini akan berbanding terbalik saat mereka berbicara dengan si miskin.

Oleh karena faktor-faktor tersebut di atas maka umumnya orang berusaha menjadi orang yang lebih kaya dan menjauhi kemiskinan, dan ini sangat manusiawi berdasarkan dari nalar logis bahwa memiliki sesuatu yang lebih adalah lebih baik dari pada kurang.

Namun gambaran di atas lambat laun berubah makna. Orang yang memiliki banyak harta bisa jadi berpenampilan miskin dan sebaliknya orang yang tak memiliki harta gemar berkelakuan seperti si kaya. Samar dan selalu disamarkan. Hal ini bisa jadi karena ada rasa takut yang berlebihan dalam hal “memamerkan” kekayaan. Ketakutan itu dapat dikarenakan “mungkin takut di audit”, “mungkin takut diminta”, dan kemungkinan-kemungkinan lainnya.

“Kekayaan adalah Amanah, Bersyukur adalah Cara memeliharanya”

Jika ada orang yang merasa miskin, maka lebih baik berdiam diri sejenak, duduk dan berpikir. Semiskin apakah kita sebagai manusia pada kacamata Tuhan (agama). Jika masih berpikir miskin, maka anda berhak untuk tidak bersyukur.

Apa yang digambarkan dengan kata dan kalimat “kaya” dan “miskin” di atas semata-mata hanya pada kacamata manusia, itulah hukum yang dinyatakan dengan ada tidaknya harta. Namun tidaklah pada kacamata Tuhan. Kita sepakat dan yakin bahwa Tuhan Maha Kaya, jika demikian, pantaskah kita pertanyakan dimana kekayaanNya ?

Kekayaan sesungguhnya bukanlah terletak pada bentuk dan rupa yang dimiliki, namun ianya tergambar pada “rasa” yang terasa dalam hati. Kalaupun ada yang merasa kaya pada bentuk dan rupa, itu semata-mata milik Tuhan yang dititipkan kepadanya.

Kata “titip” mengandung makna menaruh barang dan sebagainya supaya disimpan, dirawat, disampaikan kepada orang lain, atau mengamanatkan untuk disampaikan dan sebagainya, juga bermakna menumpangkan barang dan sebagainya. Kita sebagai yang “dititipkan” tentu dianggap “mampu” dan “dipercaya” menjaga dan menyampaikannya sesuai pesan yang menitipkan.

Inti dari keberadaan manusia di dunia adalah kesadaran sebagai penyandang amanah dan inti dari kesadaran adalah rasa . Rasa terbentuk dari belajar akan sesuatu yang menghasilkan pemahaman utuh (ilmu) dan direndam dengan adab kebaikan (iman) sehingga berbentuk kesadaran akan keberadaan serta mengendap/bermuara di daerah syaraf simpatik dibelakang perut, yang kemudian menghasilkan getaran-getaran itu dikenal dalam bahasa umum sebagai perasaan hati. Jadi perasaan manusia bukan berpusat di organ hati secara biologis.

Oleh karena itu jika rasa kaya menyelimuti, maka rasa syukur akan secara simultan menjalani. Demikian juga halnya dengan rasa miskin, jika rasa miskin mendatangi maka rasa sabar pun akan secara otomatis menjalani. Di sinilah letak bagaimana Syukur dan Sabar di implementasikan. Jadi tidaklah berlebihan jika “Kekayaan adalah amanah, bersyukur adalah cara memeliharanya” dan “kemiskinan adalah amanah, bersabar adalah cara mensyukurinya”

Dari uraian di atas, maka masalah orang bisa bersyukur atau tidak, sedih atau senang , merasa menderita atau bahagia, sesungguhnya hanya masalah sinyal-sinyal syaraf . Maka jika ada manusia yang hanya karena masalah ekonomi, percintaan dan sejenisnya lalu menjadi lupa daratan, menderita bathin, menyesali hidup adalah sangat ironis dan tidak adil dalam memperlakukan tubuh yang sudah banyak memberikan manfaat selama hidupnya.

Jika konteks ini dibawa kedalam Norma atau Agama, tentu mudah kita katakan dengan bahasa umum bahwa “hidup adalah amanah”, "hidup adalah anugerah, hidup adalah cobaan, hidup mesti disyukuri, dan lain sebagainya" .

Tapi berdasarkan pengalaman yang ada , nilai-nilai luhur yang di ajarkan Agama tak selalu berhasil membimbing jalan hidup manusia dalam mengendalikan perasaan hatinya dalam hal-hal negatif tersebut diatas, hal ini tentu disebabkan karena faktor getaran rasa pada tubuh yang cenderung lebih kuat dan nyata mempengaruhi pikiran untuk bertindak , hal itu terjadi tak lain karena masalah rasa yang tak paham akan adab dan kebaikan sehingga menjadi tak terkendali.

Itulah kenapa dalam point ini saya membahas masalah esensi rasa secara lebih detil, karena biarpun ada yang menganggap sepele, tapi kenyataannya masalah rasa inilah kekuatan terbesar yang menempel dalam diri manusia dan mengendalikan kehidupan manusia didunia ini.
Rasa menentukan kehancuran atau kebangkitan nasib manusia.
Rasa menentukan kebaikan atau keburukan sipat manusia.
Rasa menentukan kekayaan atau kemiskinan hidup manusia.

Jika kita merasa kaya, seharusnya malu untuk meminta
Jika kita merasa miskin, seharusnya segan untuk bercerita

Terakhir, ada pepatah tetangga sebelahku,
“makan itu lebih enak jika dikunyah hingga terasa nikmatnya”.

RASA adalah RAHASIA hingga tak ada sepotong kalimatpun yang mampu mendifinisikannya secara benar.



Share This


Like This

No comments :

Post a Comment

Silahkan menyampaikan pertanyaan, komentar dan saran serta masukan untuk menjadi bagian dalam perbaikan