tav

31 May 2013

Indikator Korupsi


KERUGIAN NEGARA DIDALAM PROSES PENGADAAN BARANG DAN JASA.
Hampir setiap hari kerja sepulang kantor rasa penat membuatku rebah sejenak sembari menyalakan TV, berharap bisa mengistirahatkan mata. Dan hampir setiap hari juga hampir disetiap stasiun TV diisi dengan berita tentang proses hukum penyelenggara negara yang terkait kasus tindak pidana korupsi.

Kata korupsi begitu familiar ditelinga dari masyarakat level terendah hingga tertinggi. Kata korupsi seakan menjadi kalimat umum di berita baik di media cetak maupun media elektronik. Bosan. Dan sangking bosannya aku jadi tergerak untuk membahas tentang korupsi pada tulisan di blog ini.

PENGERTIAN DARI KATA KORUPSI

Korupsi bermakna busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok adalah tindakan pejabat publik, baik politisi maupun pegawai negeri, serta pihak lain yang terlibat dalam tindakan itu yang secara tidak wajar dan tidak legal menyalahgunakan kepercayaan publik yang dikuasakan kepada mereka untuk mendapatkan keuntungan sepihak.

Pengertian Korupsi dalam arti modern baru terjadi kalau ada konsepsi dan pengaturan pemisahan keuangan pribadi dan sebagain pejabat sangat penting, sebab seorang raja tradisional tidak dianggap sebagai koruptor jika menggunakan uang negara, karena raja adalah negara itu sendiri.

Definisi Korupsi dapat pula mengacu pada pemakaian dana pemerintah untuk tujuan pribadi. Definisi ini tidak hanya menyangkut korupsi moneter yang konvensional, akan tetapi menyangkut pula korupsi politik dan administratif. Seorang administrator yang memanfaatkan kedudukannya untuk menguras pembayaran tidak resmi dari para investor (domestik maupun asing), memakai sumber pemerintah, kedudukan, martabat, status, atau kewenangannnya yang resmi, untuk keuntungan pribadi dapat pula dikategorikan melakukan tindak korupsi.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Korupsi adalah Penyelewengan atau penggelapan (uang negara atau perusahaan dsb) untuk keuntungan pribadi atau orang lain.

Menurut pasal 435 KUHP, korupsi berarti busuk, buruk, bejat dan dapat disogok, suka disuap, pokoknya merupakan perbuatan yang buruk. Perbuatan Korupsi dalam dalam istilah kriminologi digolongkan kedalam kejahatan “kejahatan Kerah Putih”. Dalam praktek Undang-undang yang bersangkutan, Korupsi adalah tindak pidana yang memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan yang yang secara langsung ataupun tidak langsung merugikan keuangan Negara dan perkenomian Negara.

Intinya, Korupsi adalah satu prilaku dan tindakan yang wajib dihindari oleh setiap orang dari sudut pandang apapun.

Memang sudah saat-nya kita di jajaran birokrasi bekerja dengan profesional dalam arti bahwa dalam mengemban tugas-tugas yang diberikan kita senantiasa melaksanakannya berdasarkan etika, teknis keilmuan terkait pekerjaan yang dilaksanakan serta aturan yang berlaku, juga termasuk dalam melaksanakan proses pengadaan barang/jasa.

Insya Allah kalau ketiga hal ini kita pegang teguh, maka kekhawatiran untuk salah langkah dalam menjalankan tugas atau bayangan bahwa kita akan terjebak pada situasi tuduhan melakukan korupsi bisa kita minimalkan.

Oleh karena itu, beberapa pengertian – pengertian pokok atas ketiga hal tersebut perlu kita pahami, misalkan tentang kerugian negara yang menurut para ahli hukum merupakan salah satu dari 3 hal yang jika terpenuhi bersama – sama akan bisa menjerat seseorang sebagai kategori koruptor (artinya kalau hanya salah satu atau salah dua, ya mestinya tidak dapat dipakai untuk menuduh orang telah korupsi).

Kita tidak ingin kan dikategorikan koruptor ?
Tidak bisa dibayangi terutama bagi keluarga kalau sampai terjadi dan mudah – mudahan Yang Maha Kuasa senantiasa melindungi kita agar tidak sampai mengalami seperti itu.

Dalam undang-undang nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telah dirubah dengan undang-undang nomor 20 tahun 2001, sebagai Pengganti undang-undang nomor 3 tahun 1971, Korupsi bisa dituduhkan ke seseorang jika :
  1. Ada Unsur Melawan Hukum; 
  2. Terbukti Memperkaya Diri Sendiri atau Orang Lain/ Korporasi.
  3. Terjadi Unsur Kerugian Negara; dan
  4. Menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau korporasi, dan
  5. Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, dan sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan.

Untuk point nomor 1 tidak kita bahas, karena itu kompetensi teman-teman di bidang hukum. Tetapi paling tidak untuk pengadaan barang/jasa dan pengelolaan keuangan daerah yang menjadi bagian dari tugas kita sehari – hari, saya rasa kita bersama-sama sudah cukup kompeten untuk mendiskusikannya, sekali lagi, paling tidak tentang Kerugian Negara + Memperkaya Diri Sendiri atau Orang Lain.

KERUGIAN NEGARA

Saya coba membuka (lebih tepatnya brosing di eyang google) tentang definisi Kerugian Negara dari aturan perundang-undangan RI. Di dalam UU No 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, pasal 1 nomor 22 yang berbunyi : ”Kerugian Negara/Daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai”.

Ternyata kerugian negara tidak boleh ditafsirkan sendiri. Meskipun di UU Tipikor ada kalimat kerugian negara, maka definisi operasionalnya harus mengikuti UU yang khusus mengatur tentang keuangan negara.

Jadi kerugian negara terjadi jika :
  1. Ada uang yang seharusnya diterima negara tapi tidak masuk ke kas negara;
  2. Terjadi situasi yang mana surat berharga (berarti bisa termasuk sertifikat hak atas tanah atau aset lain,  jaminan bank seperti jaminan pelaksanaan proyek atau sejenisnya atau mungkin bilyet deposito dan sejenisnya) yang menjadi hak negara dikuasai pihak lain secara tidak sah atau ternyata tidak bisa di-uang-kan;
  3. Kekurangan barang yang seharusnya menjadi hak negara.

PERTAMA, ADA UANG YANG SEHARUSNYA DITERIMA NEGARA TAPI TIDAK MASUK KE KAS NEGARA;
Kapan bisa terjadi ”ada uang yang seharusnya diterima negara tapi tidak masuk ke kas negara”? Dalam pengadaan khususnya pelaksanaan kontrak, negara berhak memperoleh denda jika terjadi keterlambatan penyelesaian pekerjaan sesuai kontrak. Jika denda tersebut tidak masuk ke negara ya bisa dituduh korupsi tuh pejabat yang mempunyai kewenangan untuk nagih denda.

KEDUA, Kapan terjadi situasi yang mana ”SURAT BERHARGA YANG MENJADI HAK NEGARA DIKUASAI PIHAK LAIN SECARA TIDAK SAH atau ternyata tidak bisa di-uang-kan dalam konteks pengadaan barang/jasa” ?


Didalam peraturan Presiden 54/2010 jo 70/2012 beserta petunjuk teknisnya terdapat beberapa ayat dan klausul yang menyangkut Surat Berharga sebagaimana maksud dari salah satu untuk kerugian negara. Diantaranya :
  1. Apabila hasil pembuktian kualifikasi ditemukan pemalsuan data, maka peserta digugurkan, badan usaha dan pengurus atau peserta perorangan dimasukkan dalam Daftar Hitam, Jaminan Penawaran yang bersangkutan dicairkan dan disetorkan ke kas Negara/Daerah.
  2. peserta yang terlibat KKN dikenakan sanksi Jaminan Penawaran dicairkan dan disetorkan ke kas Negara/Daerah;
  3. Peserta mengundurkan diri setelah menerima SPPJB maka Jaminan Penawaran peserta lelang yang bersangkutan dicairkan dan disetorkan pada Kas Negara/Daerah.
  4. Dalam hal sanggahan banding pada pelelangan dinyatakan dinyatakan salah, Jaminan Sanggahan Banding dicairkan dan disetorkan ke kas Negara/Daerah,
  5. Dalam hal Penyedia Barang/Jasa yang ditunjuk sebagai pelaksana pekerjaan mengundurkan diri dengan alasan yang tidak dapat diterima dan masa penawarannya masih berlaku, maka Jaminan Penawaran yang bersangkutan dicairkan dan disetorkan pada Kas Negara/Daerah;
  6. Apabila peserta yang harga penawarannya dibawah 80% (delapan puluh perseratus) HPS tidak bersedia menaikkan nilai Jaminan Pelaksanaan, maka penawarannya digugurkan dan Jaminan Penawaran dicairkan dan disetorkan ke kas Negara/Daerah
  7. Dalam hal pemutusan Kontrak dilakukan karena kesalahan Penyedia Barang/Jasa maka Jaminan Pelaksanaan dicairkan;
  8. dan lainnya

KETIGA, Kapan terjadi KEKURANGAN BARANG YANG SEHARUSNYA MENJADI HAK NEGARA di dalam proses pengadaan barang dan jasa ?
Pada konteks ini tentunya unsur-unsur yang menyangkut volume dan harga baik bersipat kuantitas maupun kualitas.

Yang bersipat kuantitas bisa berupa :
  1. Jumlah barang yang dibayar tidak sesuai dengan jumlah barang yang diterima dan dibayar;
  2. Ukuran bangunan baik dari ukuran isi, panjang, luas, tebal, lebar tidak sesuai dengan ukuran yang diterima dan dibayar;
  3. Tidak diperbaikinya kerusakan dan/atau tidak beroperasinya barang sebagaimana yang diharapkan selama masa pemeliharaan.

Yang bersipat kualitas bisa berupa spesifikasi teknis yang tidak sesuai dengan spesifikasi teknis yang diterima dan dibayar;

Pengadaan yang kridibel, sejahterakan bangsa

Share This


Like This

No comments :

Post a Comment

Silahkan menyampaikan pertanyaan, komentar dan saran serta masukan untuk menjadi bagian dalam perbaikan