tav

25 September 2013

Amanah dan Kepemimpinan

APA ITU AMANAH

Banyak yang mendifinisikan amanah sebagai tanggungjawab, ada juga yang mengatakan amanah itu adalah titipan. Semua boleh mendifinisikan sesuai dengan kepahamannya namun kesemuanya berawal dari unsur yang dinamakan kepercayaan. Karena kepercayaanlah seseorang diberikan tanggungjawab, titipan dan difinisi lainnya. Dalam pengertiaan bahasa amanah berarti jujur dan dapat dipercaya. Rival-nya dinamai Khianat. Amanah terjadi diatas kepercayaan. Sikap amanah dapat berlangsung dalam “ruang” yang sangat luas. Oleh karena itu, sikap amanah merupakan sesuatu yang dipercayakan untuk dijaga, dilindungi, dan dilaksanakan.

Dalam Islam, Al-Quran menyatakan kata amanah sebagaimana firman Allah Swt: Sesungguhnya Kami telah menyampaikan amanah kepada langit, bumi, dan gunung-gunung; semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya. Dipikullah amanah itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh. (QS al-Ahzâb [33]: 72).

Begitu beratnya yang dinamakan amanah itu hingga seluruh alam enggan untuk memikulnya, hingga keluarlah yang namanya manusia menyanggupi untuk memikul. Sungguh, Allah telah menyatakan bahwa manusia itu amat zalim dan amat bodoh.

Dari ayat di atas jelas kita sebagai manusia “menggadaikan” diri untuk menanggung sesuatu yang tidak disanggupi oleh makhluk lain, bukan karena kemampuannya namun lebih kepada kebodohan dan kesombongannya.

Amanah yang dibeban Allah kepada manusia sangat beragam dan fluktuasi mengikut kadar kemampuan masing-masing manusia. Di sini amanah sinonim dengan kewajiban dan beban seorang pribadi. Tugas manusia adalah menjaga dan melestarikan fitrahnya agar senantiasa selaras dengan syariat Allah dan waspada terhadap dorongan hawa nafsu agar tidak menyimpang.
Amanah seperti itu umum dinamakan Amanah secara individu dimana setiap hamba yang sudah memenuhi syarat tertentu dibebankan menunaikan kewajiban syariat Allah. Amanah individu berhukum fardhu ‘ain yakni wajib pada diri termasuk didalamnya yang bersipat substansial yakni mendalami ilmu agama.

Selain Amanah Pribadi, ada lagi amanah yang bersipat di luar diri yakni Amanah Sosial yakni amanah dakwah. Setiap Manusia berkewajiban menyampaikan sesuatu yang baik dan membaikan kepada semua manusia sesuai dengan pemahamannya. Tujuannya adalah membangun masyarakat sesuai dengan aturan yang pada akhirnya membangun kerukunan dan keharmonisan bersosial dan berkemanusiaan. Hukum dari Amanah Sosial ini adalah Fardhu Kifayah.

MENYERAHKAN URUSAN YANG BUKAN AMANAH

Khusus untuk Amanah Sosial cendrung memiliki unsur kepercayaan yang lebih. Selain kepercayaan yang diberikan Allah kepada dirinya juga diperlukan kepercayaan lain yakni kepercayaan yang akan memberikan Amanah. Apapun bentuk dan sipat amanah itu pasti akan diberikan bilamana mendapat kepercayaan baik dari kejujurannya maupun dari kemampuannya untuk menjalankan amanah tersebut.

Manusia diberi beban amanah kerena ia memiliki kemampuan yang berbeda dengan makhluk lain. Manusia memiliki hati dan akal fikiran, keimanan, perasaan kasih sayang empati kepada sesama yang mendukungnya menunaikan amanah. Amanah itu menentukan nasib seseorang. Amanah juga menentukan nasib suatu tatanan masyarakat, Juga menentukan nasib suatu bangsa. Jika setiap orang menjalankan tugasnya dengan penuh amanah dan tanggungjawab maka selamatlah ia, selamatlah mereka. Sebaliknya jika diselewengkan maka hancurlah ia, dan hancurlah sebuah bangsa. Sehingga Rasulullah saw mengingatkan dalam sebuah haditsnya :

Bila amanah disia-siakan, maka tunggulah kehancurannya. Dikatakan, bagaimana bentuk penyia-nyiaannya? Beliau bersabda, “Bila persoalan diserahkan kepada orang yang tidak berkompeten, maka tunggulah kehancurannya”. (Bukhari dan Muslim).

Namun demikian amanah itu memiliki tingkatan dan kadar berat ringannya. Beratnya amanah dipengaruhi oleh faktor kapabilitas dan ruang lingkup dan cakupan penunaiannya. Semakin tinggi kapabilitas, jabatan dan luas ruang lingkup seseorang, maka semakin berat pula amanahnya. Di sini bisa katakan bahwa amanah kepemimpinan adalah paling berat. Tak heran bila ayat-ayat Al-Quran yang memerintahkan amanah seperti di atas lebih ditujukan kepada para pemimpin, pejabat publik, dan penegak hukum. Karenanya, Islam memiliki perhatian besar terhadap masalah yang satu ini.

Dalam hal amanah berupa jabatan, apapun bentuk jabatannya bukanlah sesuatu yang diminta-minta atau dengan mengemis-ngemis apalagi dikejar dengan segala cara tanpa mempedulikan prinsip-prinsip agama. Sebab jabatan melahirkan kekuasaan dan wewenang yang gunanya semata-mata untuk memudahkan dalam menjalankan tanggung jawab melayani rakyat. Semakin tinggi kekuasaan seseorang, hendaknya semakin meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Bukan sebaliknya, digunakan sebagai peluang untuk memperkaya diri, bertindak zalim dan sewenang-wenang. Balasan dan upah seorang pemimpin sesungguhnya hanya dari Allah swt di akhirat kelak, bukan kekayaan dan kemewahan di dunia.

Karena itu pula, ketika sahabat Nabi SAW, Abu Dzarr, meminta suatu jabatan,
Nabi saw bersabda :
Wahai Abu Dzarr, kamu lemah, dan ini adalah amanah sekaligus dapat menjadi sebab kenistaan dan penyesalan di hari kemudian, kecuali orang yang memang berhak dan menunaikan amanah itu.” (H. R. Muslim).

Oleh karenanya, seorang pemimpin menjadi unsur penting terhadap keberhasilan dan kesuksesan suatu pekerjaan. ”Penunjukkan seseorang sebagai pemimpin merupakan salah satu tugas agama yang paling besar. Bahkan agama tidak akan tegak, begitu juga dunia tidak akan baik tanpa keberadaan pemimpin”.

Kemaslahatan masyarakat tidak akan terwujud kecuali dengan menata kehidupan sosial, karena sebagian mereka memerlukan sebagian yang lain. Dalam konteks ini, kehidupan sosial tidak akan berjalan dengan baik dan teratur tanpa keberadaan seorang pemimpin”.

Imam Ghazali menegaskan, “Dunia adalah ladang akhirat. Agama tidak akan sempurna kecuali dengan dunia. Kekuasaan dan agama adalah kembaran. Agama adalah tiang sedangkan penguasa adalah penjaganya. Bangunan tanpa tiang akan roboh dan apa yang tidak dijaga akan hilang.

Keteraturan dan kedisiplinan tidak akan terwujud kecuali dengan keberadaan pemimpin. Inilah yang menjadi alasan kenapa pemimpin itu memiliki amanah lebih berat di banding lainnya. Semakin tinggi cakupan kepemimpinannya semakin berat amanahnya.

Itu juga diperjelas dengan sabda Rasulullah Saw:
“Setiap kalian adalah pemimpin dan karenanya akan diminta pertanggungjawaban tentang kepemimpinannya. Amir adalah pemimpin dan akan diminta pertanggungjawaban tentang mereka. Lelaki adalah pemimpin di tengah keluarganya dan ia akan diminta pertanggungjawaban tentang mereka. Seorang wanita adalah pemimpin di rumah suaminya dan atas anak-anaknya dan ia akan diminta pertanggungjawaban tentangnya. Seorang hamba adalah pemimpin atas harta tuannya dan ia akan diminta pertanggungjawaban tentang itu. Dan setiap kalian akan diminta pertanggungjawaban tentang kepemimpinannya.”

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra. berkata, Rasulullah saw. bersabda: “Barangsiapa memilih seseorang menjadi pemimpin untuk suatu kelompok, yang di kelompok itu ada orang yang lebih diridlo’i Allah dari pada orang tersebut, maka ia telah berkhianat kepada Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman.”

FA'TABIRU YA.. ULUL ALBAB




Share This


Like This

No comments :

Post a Comment

Silahkan menyampaikan pertanyaan, komentar dan saran serta masukan untuk menjadi bagian dalam perbaikan