tav

14 April 2015

Lembaran Sakti yang bernama Sertifikat

Bismillahir rahmanir rahim

Berawal dari banyaknya permasalahan dalam pelaksanaan barang dan jasa yang dialami rekan, kawan dan sahabat yang mendiskusikannya, saya tertarik untuk mengangkat secara khusus nilai penting lembaran yang bernama SERTIFIKAT KEAHLIAN pengadaan barang/jasa pemerintah yang dikeluarkan oleh Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.

Dalam Perpres pengadaan barang/jasa pemerintah, Sertifikat Keahlian Pengadaan Barang/Jasa adalah tanda bukti pengakuan dari pemerintah atas kompetensi dan kemampuan profesi dibidang Pengadaan Barang/Jasa. Hal yang sama juga berlaku untuk bukti pengakuan pemerintah lainnya seperti Surat Ijin Mengemudi, Sertifikat ini dan itu dan bukti pengakuan lain sepanjang dikeluarkan oleh lembaga pemerintah. Demikian pemahaman yang saya pahami.

Tulisan ini bukan untuk menyalahkan apa yang berlaku dan sering terjadi didalam proses pengadaan barang dan jasa pemerintah namun sekedar soembang saran. Jika makna sertifikat tersebut benar mengapa proses pengadaan selalu “hampir benar” dalam implementasinya.

LKPP sebagai lembaga yang membuat kebijakan dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah seharusnya tidak sekedar “menilai” dan “menunggu” regulasi yang dikeluarkannya menjadi baik sesuai tujuan dikeluarkannya sertifikat tersebut namun “mungkin” lebih tegas dalam implementasi “surat sakti” yang bernama sertifikat keahlian pengadaan barang/jasa pemerintah. Dengan adanya SPSE atau LPSE yang terintegrasi kepada LKPP, sangat mudah bagi LKPP menilai dan menindaklanjut bilamana ada diantara pokja yang “hampir benar” dalam menerapkan sertifikat tersebut. Jika dalam penilaian LKPP ada diantara pokja yang mempersyaratkan persayaratan yang “hampir benar” bisa langsung di peringati bahkan mungkin dicabut “ijin” menjadi organisasi pengadaan sebagaimana tertuang didalam pasal 7 Perpres 54/2010 beserta perubahannya.

Sesuai dengan pasal 3 dan pasal 16 Peraturan Presiden Nomor 106 Tahun 2007 yang terakhir disempurnakan dengan Perpres 157 Tahun 2014 tentang LKPP, jelas LKPP memiliki tupoksi koordinasi dan sinkronisasi pemantauan, dan evaluasi pelaksanaan pengadaan barang dan jasa, pembinaan, pengawasan dan pengembangan LPSE. Meski disatu sisi LKPP mensyaratkan adanya kompetensi dan rekam jejak serta melalui proses seleksi dalam rekrutmen anggota ULP Pokja (Pasal 17 Perka Nomor 5 Tahun 2012 tentang ULP) namun seperti belum cukup jika dibandingkan “tidak sedikit” permasalahan pengadaan barang dan jasa yang timbul akibat “hampir benar”nya pokja dalam mengimplementasikan sertifikatnya.

Sesuai dengan tujuan Sertifikasi Keahlian untuk memastikan sumber daya manusia yang melaksanakan Pengadaan Barang/Jasa telah mengetahui dan memahami Peraturan Perundang-undangan tentang Pengadaan Barang/Jasa. (pasal 2 Perka LKPP No 9 Tahun 2014) menjadi tidak sampai. Hal ini bisa jadi disebabkan hal-hal berikut namun tidak terbatas pada :
  1. Sertifikat menjadi SEKEDAR barang BUKTI tanpa makna dan menjadi SYARAT MUTLAK meski tidak memenuhi persyaratan lain selain Sertifikat dan Fakta Integritas (Perpres Pasal 17). Hal ini dapat di inventarisir pada beberapa K/L/D/I yang mengirimkan personil hingga berkali-kali dan selalu gagal, (seperti dipaksakan). Dan tidak sedikit personil Pokja yang tidak mengantongi sertifikat dikarenakan SELALU “hampir benar”.
  2. Untuk MEMASTIKAN sumber daya manusia yang melaksanakan Pengadaan Barang/Jasa telah mengetahui dan memahami Peraturan Perundang-undangan tentang Pengadaan Barang/Jasa melalui ujian sertifikasi keahlian yang berkisar 3 hari merupakan waktu yang mustahil, apalagi soal ujiannya lebih dominan pilihan berganda sehingga nilai yang didapat jauh dari cerminan pemahaman akan substansi pengadaan.
  3. Proses rekrutmen tidak sesuai dengan tujuan pelaksanaan sertifikat, sehingga makna sertifikat tak terpenuhi. Atau bisa jadi prosesnya tidak melalui mekanisme sebagaimana tertuang didalam Perka LKPP Nomor 5 tahun 2012. Hal ini bisa diabaikan karena LKPP tidak mempersyaratkan bukti penilaian anggota Pokja di dalam LPSE dan mengawasinya.
  4. Tidak adanya funishment atau hukuman jika melakukan perbuatan yang “hampir benar”. Misalnya pencabutan sertifikat keahlian dan sebagainya.
  5. Jika semua yang terjadi akibat “hampir benar” pokja dan/atau PPK dalam mengimplemetasikan sertifikat keahlian tidak ditindaklanjuti dengan pengaturan dalam bentuk pengawasan dan/atau funisment maka unsur akuntabilitas LKPP atas dikeluarkannya sertifikat keahlian hampir tidak ada.
  6. Karena HANYA LKPP yang memiliki KEBIJAKAN yang diakui Undang-Undang maka sudah sewajarnya mempertimbangkan semua permasalahan yang terjadi dengan kebijakan yang lebih baik dan komprehensif.

Akhir kalam, semoga tulisan ini dapat menjadi masukan yang baik dan membaikan dalam mencapai tujuan pengadaan yang kridibel yang mensejahterakan bangsa.











Share This


Like This

No comments :

Post a Comment

Silahkan menyampaikan pertanyaan, komentar dan saran serta masukan untuk menjadi bagian dalam perbaikan