tav

27 November 2014

Sertifikat Pengadaan Barang/Jasa

Sertifikat Keahlian Pengadaan Barang/Jasa adalah tanda bukti pengakuan dari pemerintah atas kompetensi dan kemampuan profesi dibidang Pengadaan Barang/Jasa. Sertifikat ini menjadi salah satu syarat yang harus dilengkapi bagi seorang PNS untuk terlibat langsung didalam proses pengadaan barang/jasa pemerintah.


Menurut Perpes 54/2010 beserta perubahannya, yang wajib memiliki sertifikat didalam proses pengadaan barang dan jasa adalah, PPK, ULP/Pokja/Pejabat Pengadaan, PPHP. Menurut data LKPP, yang telah memiliki sertifikat Pengadaan barang/jasa sekitar 237.000-an orang yang tersebar di 34 provinsi dan 514 kabupaten/kota serta di luar negeri. Jika diambil rata-rata setiap kabupaten/kota plus instansi dan departeman maka ada sekitar 395-an orang yang telah memiliki Sertifikat Pengadaan Barang/Jasa. Jika setiap kabupaten/kota memiliki 10 ULP maka setiap ULP terdapat sekitar 19 orang memiliki Sertifikat Pengadaan Barang/Jasa. Sungguh suatu angka yang sudah lebih dari cukup.

Begitu “penting”-nya memiliki Sertifikat Pengadaan Barang/Jasa hingga terkadang walau sudah 4,5 bahkan mungkin sudah 6 kali gagal mengikuti ujian sertifikat namun tidak mengurangi niat untuk mendapatkannya.
Ada daya tarik tersendiri tentang selembar kertas yang bernama “Sertifikat Pengadaan Barang/Jasa”.

Di dalam Perka Nomor Nomor 9 Tahun 2014 Tentang Petunjuk Teknis Operasional Sertifikasi Keahlian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, pasal 25, Pemegang Sertifikat Pengadaan Barang/Jasa berhak untuk :
  1. ditetapkan sebagai Pejabat Pembuat Komitmen;
  2. ditetapkan sebagai Anggota Kelompok Kerja Unit Layanan Pengadaan dan/atau Pejabat Pengadaan;
  3. ditetapkan sebagai pejabat fungsional pengelola pengadaan barang/jasa; dan/atau
  4. melaksanakan kegiatan lain di bidang Pengadaan Barang/Jasa;

Mungkin karena daya tarik dan ruang yang begitu menantang, sehingga membuat hampir sebagian besar berusaha mendapatkannya.

Ada satu pertanyaan BESAR tentang sertifikat ini yaitu, SIAPA YANG HARUS MEMILIKINYA

Satu alasan mengapa ini mesti dipertanyakan .

Didalam pasal 17 ayat 1 dinyatakan bahwa Anggota Kelompok Kerja ULP/Pejabat Pengadaan memenuhi persyaratan sebagai berikut :
  1. memiliki integritas, disiplin dan tanggung jawab dalam melaksanakan tugas;
  2. memahami pekerjaan yang akan diadakan;
  3. memahami jenis pekerjaan tertentu yang menjadi tugas ULP/Pejabat Pengadaan yang bersangkutan;
  4. memahami isi dokumen, metode dan prosedur Pengadaan;
  5. tidak mempunyai hubungan keluarga dengan Pejabat yang menetapkannya sebagai anggota ULP/Pejabat Pengadaan;
  6. memiliki Sertifikat Keahlian Pengadaan Barang/Jasa sesuai dengan kompetensi yang dipersyaratkan; dan
  7. menandatangani Pakta Integritas.
Persyaratan sebagaimana pasal 7 di atas merupakan satu kesatuan dan saling melengkapai.

Namun jika kita telaah tentang sipat dan bentuknya, dari 7 persyaratan untuk menjadi pokja ULP atau pejabat pengadaan, 5 (lima) diantaranya mengenai kemampuan dan kapasitas personil yang bersipat teknis dan abstrak dan 2 (dua) bersipat administrasi dan konkrit. Walaupun Sertifikat Pengadaan adalah tanda bukti pengakuan dari pemerintah atas kompetensi dan kemampuan profesi dibidang Pengadaan Barang/Jasa namun sipatnya administratif sehingga bukan menjadi jaminan yang dapat secara otomatis mencerminkan keutuhan bukti pada kemampuan individu seseorang.

JIKA kita analogikan persyaratan sebagaimana pasal 7 di atas dengan kalimat Syarat dan Rukun seseorang dapat menjadi pelaksana pengadaan, maka :
  1. Persyaratan kedua, ketiga, keempat, kelima, keenam dan/atau ketujuh tidak boleh mendahului persyaratan pertama. Dalam pengertian setiap tahapan wajib dilakukan secara berurutan sehingga jika seseorang sudah memiliki “Sertifikat Pengadaan Barang/Jasa”, maka secara otomatis sudah memiliki integritas, disiplin dan tanggung jawab dalam melaksanakan tugas, memahami pekerjaan, memahami jenis pekerjaan tertentu yg menjadi tugas, memahami isi dokumen, metode dan prosedur Pengadaan, memahami sejauh unsur terafiliasi mempengaruhi putusannya;
  2. Akan lebih bertanggungjawab dalam pelaksanaan tugasnya karena integritasnya yang memerintahkan untuk melaksanakan atau tidak melaksanakan sesuatu yang sesuai pemahamannya menyalahi atau tidak menyalahi prosedur pengadaan.
  3. Akan lebih effektif baik dalam melaksanakan tupoksinya karena nilai kedisiplinan yang sudah tertanam menjadi parameter effektif tidaknya proses yang akan dilaksanakan.
Berdasarkan pertimbangan di atas maka yang harus memiliki “Sertifikat Pengadaan Barang/Jasa” adalah mereka yang telah memiliki unsur 1-5, karena sertifikat “Sertifikat Pengadaan Barang/Jasa” adalah bukti pengakuan atas kompetensi dan kemampuan profesi dibidang Pengadaan Barang/Jasa yang menjadi persyaratan administrasi akibat adanya KOMPETENSI dan KEMAMPUAN PROFESI
Kompetensi dan Kemampuan tersebut harus dimiliki oleh seorang PPK, Anggota Kelompok Kerja ULP/Pejabat Pengadaan, Pejabat/Panitia Penerima Hasil Pekerjaan dan bagi mereka yang melaksanakan kegiatan lain di bidang Pengadaan Barang/Jasa.

JIKA orientasi pelaksanaan pengadaan barang/jasa pemerintah bukan sekedar tentang masalah terserap tidaknya anggaran APBN/APBD dan berorientasi pada memenuhi atau tidak memenuhi ketentuan yang berlaku, maka proses pemilihan yang dilakukan melalui LPSE saat ini masih banyak yang menyalahi prosedur pengadaan. Ini terbukti banyaknya proses pemilihan yang gagal akibat menyalahi ketentuan yang berlaku. Hal ini bisa disebabkan beberapa faktor, diantaranya :
  1. Sistem rekrutan pelaksana pengadaan yang tidak sesuai dengan aturan yang berlaku.
  2. Dibeberapa K/L/D/L masih menerapkan proses rekrutman konvensional “asal tunjuk” yang pada akhirnya pelaksana pengadaan hanya sebatas “orang-orang itu saja” tanpa mempertimbangkan kompetensi dan kemampuan serta rekam jejek sebagaimana persyataran untuk ULP/pokja ULP yang tertuang di dalam Perka Nomor 5 Tahun 2012
  3. Persyaratan terhadap layak tidaknya pelaksana pengadaan masih samar dan terkesan tertutup, selama memiliki “Sertifikat Pengadaan Barang/Jasa”, maka bisa langsung ditunjuk. “Sertifikat Pengadaan Barang/Jasa” seakan menjadi “skala prioritas” meski tidak memiliki kemampuan dan pemahaman tentang pengadaan barang/jasa pemerintah. Hal ini yang menjadi salah satu sebab banyaknya pemilihan gagal.
  4. Adanya asumsi bahwa pelaksana pengadaan merupakan “lahan gambut” untuk mendapatkan kesejahteraan materi. Ini salah satu pengaruh bagaimana seseorang akan berusaha sedapat mungkin lulus ujian pengadaan barang/jasa, meski telah gagal 5 bahkan 6 kali. Cita-cita yang bernama “ambisius”. Jika hal ini yang dikedepankan, maka kemungkinan besar proses pengadaan yang akuntabel hanya sebatas cita-cita.

Share This


Like This

No comments :

Post a Comment

Silahkan menyampaikan pertanyaan, komentar dan saran serta masukan untuk menjadi bagian dalam perbaikan